Senin, 20 Agustus 2012

Analisis Makna Sajak IBU oleh Sugeng Rianto


Analisis Makna Sajak IBU
Dalam Kumpulan Sajak berjudul Madura, Akulah Darahmu!
Karya D. Zawawi Imron.

Oleh Sugeng Rianto

BAB  I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Pengajaran sastra sebenarnya merupakan bagian dari pengajaran bahasa, keduanya memiliki hubungan keterkaitan yang tak terpisahkan dan saling mengisi. Pengajaran sastra tidak saja menerima nilai-nilai tertentu dari pengajaran bahasa, tetapi ia pun mampu memberikan nilai-nilai tertentu kepada pengajaran bahasa. Pengajaran apresiasi sastra dapat digunakan untuk membentuk nilai-nilai luhur, meningkatkan perasaan religi, dan membentuk moral yang positif dalam diri siswa. Apresiasi sastra seperti yang dirumuskan oleh Effendi (dalam Aminuddin, 2004:35) sebagai kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga dapat menumbuhkan kepekaan perasaan, pengertian, penghargaan, daya pikir kritis,  serta siswa dapat memetik nilai-nilai moral dan nilai kemanusiaan yang terkandung dalam sastra.
Pembelajaran sastra di sekolah menengah lanjutan lebih jauh dikemukakan oleh Tjahjono Widarmanto (Pusat Perbukuan Depdiknas, 2006:12) bertujuan mengembangkan kompetensi siswa agar mampu mengapresiasi hasil karya sastra (berupa puisi, cerpen, novel, drama) serta mampu memahami dan menggunakan pengertian teknis kesusastraan dan sejarah sastra untuk menjelaskan, meresensi, menilai, menganalisis hasil sastra, memerankan drama, menulis karya cipta sastra berupa puisi, cerpen, dan novel. Ahmadi, dalam Tjahjono (2006:12) juga menguraikan bahwa pengajaran apresiasi sastra berfungsi untuk (1) melatih keterampilan berbahasa siswa, (2) menambah pengetahuan siswa tentang pengalaman hidup manusia, agama, dan kebudayaan, (3) berperan mengembangkan kepribadian, (4) membantu pembentukan watak, (5) memberikan hiburan atau rekreatif yang sehat, dan (6) meluaskan dimensi kehidupan.
Kegiatan mengapresiasi karya sastra termasuk sajak atau puisi, harus diawali dari sikap ketertarikan terhadap sastra sebagai suatu karya ciptaan pengarang yang di dalamnya terkandung beragam nilai-nilai kehidupan. Tidak berkelebihan jika Boulton (dalam Aminuddin, 2004:37) beranggapan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberi kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema kehidupan ini.
Bertolak dari pendapat Boulton, Aminuddin (2004:38) lebih menegaskan bahwa cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, yaitu (1) unsur keindahan; (2) unsur kontemplatif hasil perenungan terhadap nilai-nilai keagamaan, filsafat, politik, dan berbagai macam kompleksitas kehidupan; (3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana; serta (4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan karakteristik cipta sastra sebagai suatu teks. Diungkapkan pula, bahwa bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator adalah (1) kepekaan emosi sehingga mampu memahami unsur-unsur keindahan di dalam cipta sastra, (2) wawasan pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman atas kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman aspek kebahasaan, dan (4) kepekaan terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang berhubungan dengan telaah teori sastra.
Dalam pelaksanaan apresiasi sastra termasuk sajak atau puisi, bisa dimulai dari satu pendekatan di antara berbagai pendekatan yang dianjurkan oleh Aminuddin (2004:40). Pendekatan yang menawarkan keleluasaan sesuai tujuan suatu penelitian adalah melalui pendekatan analitis, karena pendekatan ini tidak harus mengkaji keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra (Aminuddin, 2004:45).
Seorang guru bahasa dan sastra Indonesia, dalam keterkaitan panggilan dedikasinya terhadap tugas pengajaran apresiasi sastra khususnya sajak atau puisi, pada dirinya dituntut harus memiliki modal sikap dan kemampuan mencintai, mengakrabi, dan menggauli sastra terlebih dahulu sebelum membimbing dan mengarahkan siswa dalam memasuki dunia yang penuh imajinasi, dunia sajak atau puisi. Maka,  sejalan dengan pemikiran untuk mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra terutama puisi, penelitian ini memfokuskan pada analisis unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam sajak/puisi berjudul Ibu yang terangkum dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron.
1.2  Masalah
1.2.1        Ruang Lingkup masalah
                Cipta sastra sebenarnya mengandung unsur yang sangat kompleks, sehingga untuk tujuan mengapresiasi bisa dilakukan  melalui beberapa pendekatan yang meliputi pendekatan : parafrastis, emotif, analitis, historis, sosiopsikologis, dan pendekatan didaktis. Berkaitan proses kelangsungan apresiasi Olsen (dalam Aminuddin, 2004:40) menawarkan sejumlah pendekatan meliputi: pendekatan emotif, ekspresif, kognitif, semantis, dan pendekatan struktural. Juga dikemukakan terdapat sejumlah teori sebagai landasan apresiasi sastra meliputi: teori: fenomenologi, hermeneutika, formalisme, strukturalisme, semiotika, teori resepsi, dan teori psikoanalisis.
1.2.2        Batasan masalah
Berdasarkan ruang lingkup masalah yang sedemikian luas cakupannya untuk mengapresiasi karya, oleh keterbatasan waktu perlu adanya pembatasan masalah. Maka penelitian ini dibatasi pada masalah Analisis Makna Sajak Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu! Karya D. Zawawi Imron.
1.2.3  Rumusan Masalah
Bertolak dari pembatasan masalah di atas, masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
(1)   Bagaimanakah gambaran struktur batin (struktur abstrak) atau lapis makna puisi Ibu dalam Kumpulan Puisi Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron?
(2)   Ide dasar apakah yang melandasi tema dan pesan amanat penyair setelah mengetahui totalitas makna puisi Ibu dalam Kumpulan Puisi Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron?

1.3  Tujuan Penelitian
1.3.1        Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan secara obyektif tentang struktur intrinsik yang berupa lapis makna puisi Ibu dalam Kumpulan Puisi Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron.
1.3.2        Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi yang obyektif tentang struktur intrinsik puisi Ibu karya D. Zawawi Imron.
(1)    Mendeskripsikan struktur batin (struktur anstrak) atau lapis makna Puisi Ibu dalam Kumpulan Puisi Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron.
(2)    Mendeskripsikan ide dasar yang melandasi tema dan pesan amanat penyair setelah mengetahui totalitas makna puisi Ibu dalam Kumpulan Puisi Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron
1.4  Penegasan Istilah
                Untuk menyamakan pemahaman sehingga terhindarkan dari kemungkinan terjadinya perbedaan penafsiran berkaitan dengan penggunaan istilah yang dikemukakan dalam penelitian ini, berikut ditegaskan beberapa istilah meliputi:
(1)   Analisis adalah istilah yang berasal dari bahasa Inggris analysis yang berarti menguraikan sesuatu, termasuk menguraikan unsur-unsur dalam struktur karya sastra.
(2)   Interpretasi adalah penafsiran terhadap sesuatu  (Rani, 2004:281).
(3)   Unsur-unsur Intrinsik adalah unusr-unsur puisi yang secara intrinsik terkandung di dalam sebuah karya puisi.
(4)   Sajak atau Puisi adalah bentuk karangan yang terikat yang terdiri atas beberapa baris, dan baris-baris itu menunjukkan pertalian makna serta membentuk sebuah bait atau lebih sebagai buah pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.
(5)   Kumpulan Sajak adalah sebuah buku terbitan tahun 1999 oleh penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta yang memuat 100  sajak-sajak pilihan karya penyair Madura yakni D. Zawawi Imron yang diciptakan sejak tahun 1966 hingga 1996. Kumpulan sajak tersebut berjudul Madura, Akulah Darahmu.
1.5  Hasil yang Diharapkan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis maupun teoritis demi perkembangan bahasa dan pengembangan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Manfaat praktis yang dimaksud berkaitan erat dengan upaya mengakrabi dan menggauli hasil karya sastra berupa puisi. Kemudian diharapkan berguna juga untuk mengetahui gambaran dari penguasaan segi analisis interpretasi unsur intrinsik (struktur fisik dan struktur abstrak) di dalam karya puisi. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai umpan balik bagi guru Bahasa Indonesia tentang bagaimana menafsirkan puisi dengan menggunakan pendekatan secara analisis melalui struktur lahir (lapis bentuk puisi) dan struktur batin (lapis makna). Adapun manfaat teoritis penelitian ini adalah setidak-tidaknya menambah khasanah kepustakaan bahasa Indonesia khususnya bidang apresiasi puisi.

BAB II

 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian  Pustaka
Pada prinsipnya penelitian tentang Analisis Interpretasi Unsur Intrinsik Puisi Ibu dalam Kumpulan Puisi Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron      ini memanfaatkan kajian interdisipliner, artinya penelitian ini dalam upaya menginterpretasi karya sastra memerlukan ilmu terapan dengan mengkaji kepustakaan yang relevan. Beberapa kajian sebagai tinjuan pustaka yang relevan, meliputi (1) tinjauan pengertian puisi dan sajak, (2) tinjauan terhadap apresiasi puisi/sajak, (3) tinjauan terhadap analisis struktur fisik (struktur lahir/lapis bentuk) puisi, dan (4) tinjauan terhadap analisis struktur abstrak (struktur batin/lapis makna) puisi.
2.2 Pengertian dan Ragam Puisi
2.2.1 Pengertian Puisi
Ada tiga karya sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Puisi adalah karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia. Batasan  tentang pengertian puisi, hingga kini belum bisa didefinisikan secara tepat. Secara intuitif orang mengerti puisi hanya berdasarkan konvensi wujud puisi, yang dalam sejarah perkembangannya wujud puisi selalu berubah  Riffaterre (dalam Pradopo, 2005:4). Akhirnya banyak pendapat yang mengemukakan  tentang pengertian puisi.
Beberapa pendapat yang mengemukakan definisi tentang puisi, antara lain dikemukakan Pradopo (2005:5-7) berikut ini.
(1)    Puisi adalah bentuk karangan yang terikat, sedangkan prosa ialah bentuk karangan bebas  Wirjosoedarmo (dalam Pradopo, 2005:5).
(2)    Definisi puisi menurut Altenbernd (Pradopo, 2005:5) adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum) (as the interpretive dramatization of experience in metrical language).
(3)    Pradopo (2005:7) merumuskan bahwa puisi itu merupakan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Sebelumnya  Tjahjono (1988:49-50) telah mengemukakan beberapa pendapat :
(1)     HB Jassin: Puisi adalah pengucapan dengan perasaan sedangkan prosa pengucapan dengan pikiran.
(2)     Matthew Arnold: Puisi merupakan bentuk organisasi tertinggi dari kegiatan intelektual manusia.
(3)     William Henry Hudson: Sastra (juga puisi) merupakan ekspresi dari kehidupan yang memakai bahasa sebagai mediumnya.
(4)     Bradley: Puisi adalah semangat. Dia bukan pembantu kita, tetapi pemimpin kita.
(5)     Ralph Waldo Emerson: Puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sedikit mungkin.
(6)     John Dryden: Puisi adalah musik yang tersusun rapi.
(7)     Issac Newton: Puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan.
(8)     William Wordsworth: Puisi adalah luapan spontan dari perasaan yang  penuh daya,, memperoleh rasanya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
(9)     Lord Byron: Puisi adalah lavanya imajinasi, yang letusannya mampu mencegah adanya gempa bumi.
(10) Watts-Dunton: Puisi adalah ekspresi konkret dan artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
(11) S. Effendi: Karya sastra yang terdiri atas beberapa baris, dan baris-baris itu menunjukkan pertalian makna serta membentuk sebuah bait atau lebih, biasa disebut puisi.
(12) Samuel Johnson: Puisi adalah seni pemaduan kegairahan dengan kebenaran, dengan mempergunakan imajinasi sebagai pembantu akal pikiran.
Mengutip pendapat McCaulay, Hudson (dalam Aminuddin, 2004:134) mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.
Tinjauan Puisi secara Etimologis, kata puisi berasal dari bahasa Yunani poesima/pocima yang berarti membuat, poeisis ‘pembuatan’, atau poeties yang berarti pembuat, pembangun, atau pembentuk. Dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry, yang artinya tak jauh berbeda dengan to make atau to create, sehingga pernah lama sekali di Inggris puisi itu disebut maker. Puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan” karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu baik fisik maupun batiniah  (Tjahjono, 1988:50) dan (Aminuddin, 2004:234) .
2.2.2  Ragam Puisi
Tinjauan puisi dari bentuk dan isinya, menurut Aminuddin (2004:134-136) dan Tjahjono (1988:73-85) ragam puisi dibedakan berikut ini.
(1)    Puisi Epik, yaitu puisi yang mengandung cerita kepahlawanan (berkaitan legenda, kepercayaan, maupun sejarah). Puisi Epik terbagi lagi menjadi folk epic yakni puisi yang nilai akahir untuk dinyanyikan, dan literary epic bila tujuan akhir puisi untuk dibaca, dinikmati, dipahami, dan diresapi maknanya.
Misal: puisi Nawang Wulan karya Subagio Sastrowardojo)
(2)    Puisi Naratif, yakni puisi yang mengandung unsur cerita dan menampilkan pelaku, perwatakan, latar, dan alur yang menjalin suatu cerita. Termasuk puisi naratif adalah balada (cerita kesedihan) yang meliputi folk ballad dan literary ballad; dan poetic tale sebagai puisi yang berisi dongeng atau cerita rakyat.
Contoh: puisi Balada Anita karya WS. Rendra.
(3)    Puisi Lirik, adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala endapan pengalaman, sikap, serta suasana batin yang melingkupinya. Khasanah sastra modern di Indonesia paling banyak diwarnai jenis puisi ini. Contoh: Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi karya Goenawan Mohamad.
(4)    Puisi Dramatik, yaitu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang/penyair sendiri lewat lakuandialog maupun monolog sehingga mengandung gambaran kisah tertentu. Contoh: Mentari & Bulan karya Tengsoe Tjahjono.
(5)    Puisi Epigram adalah bentuk puisi pendek yang berisi nasihat tentang ajaran, etika pergaulan, tata krama, dan sebagainya. Gurindam dalam puisi lama dapat digolongkan sebagai bentuk puisi epigram. 
(6)    Puisi Didaktik, yaitu puisi yang mengandung nilai-nilai pendidikan yang umumnya tampak secara eksplisit. Contoh: Mereka Menunggu Ibunya karya Abdul Hadi WM.
(7)    Puisi Satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan, ketimpangan, dan ketidakberesan sistem kehidupan suatu komunitas atau suatu tatanan masyarakat. Contoh: Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini, karya Taufiq Ismail.
(8)    Romance atau Romans, yakni puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap kekasihnya. Contoh: Dialog, karya Krishna Mustajab.
(9)    Elegi, yakni jenis puisi ratapan yang mengungkapkan rasa sedih seseorang. Misalnya: puisi berjudul Elegi, karya Linus Suryadi AG.
(10)Ode, yaitu puisi yang berisi pujian atau sanjungan terhadap seseorang yang memiliki jasa maupun sikap kepahlawanan. Contoh: In Memoriam: Prof. Drs. S. Wojowasito, karya Tengsoe Tjahjono.
(11)Himne, yaitu puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air tercinta. Contoh: Tanah Sunda, karya Ajip Rosidi.
2.3  Unsur Pembentuk Puisi
Terdiri dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Berdasarkan unsur intrinsik pembentuknya, puisi terdiri atas unsur (1) bangun struktur, dan (2) lapis makna.
2.3.1        Bangun Struktur Puisi
Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat dilihat secara visual, yang meliputi (1) bunyi, (2) kata/diksi, (3) larik/baris, (4) bait, dan (5) tipografi  Aminuddin (2004:136-147). Pendekatan analisis struktur ini dengan penelaahan meliputi: rima, diksi, majas, imaji, dan tipografi.
2.3.1.1   Beberapa konsep masalah bunyi meliputi :
A.      Rima, adalah bunyi yang berulang/berselang, dan di dalamnya mengandung aspek (a) asonansi atau runtun vokal, (b) aliterasi atau purwakanti, (c) rima akhir, (d) rima dalam, (e) rima rupa, (f) rima identik, dan (g) rima sempurna.
B.       Irama, yakni paduan bunyi yang menimbulkan musikalitas menyangkut alunan keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan lemah-kuat sehingga menimbulkan kemerduan dan sebagainya yang timbul akibat penataan rima, pemberian aksentuasi, dan intonasi.
C.       Ragam bunyi meliputi euphony, bunyi cacophony, dan anomatope.
2.3.1.2    Kata, yaitu pilihan kata sebagai simbol, hal ini karena bukan makna yang sebenarnya. Pemilihan kata untuk mengungkapkan suatu gagasan disebut diksi. Diksi yang baik berhubungan dengan pilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengajuk daya imajinasi pembacanya.
2.3.1.3   Bahasa Kiasan, adalah ungkapan gaya dan rasa bahasa (bahasa kiasan) yang menunjukkan kepiawaian penyair. Bahasa kiasan  (figurative language)(Pradopo, 2005: 61-79) digunakan dalam puisi untuk mendapatkan kepuitisan sehingga sajak lebih menarik, segar, hidup dan memperjelas gambaran angan. Beberapa contoh gaya bahasa dalam puisi meliputi:
a.    Simile, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, bak, laksana. Contohnya: “tersenyum beta laksana arca” Jassin (dalam Pradopo, 2005:62).
b.    Metafor yakni pengungkapan acuan makna yang lain selain makna sebenarnya, tanpa menggunakan kata-kata pembanding. Seperti: “Bumi ini perempuan jalang”  Subagio (dalam Pradopo, 2005:66).
c.    Epic simile yaitu perumpamaan atau perbandingan epos yaitu perbandingan yang diperpanjang.
d.   Allegori ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, dan sering terdapat pada sajak-sajak Pujangga Baru.
e.    Personifikasi, kiasan ini mempersamakan benda-benda dengan manusia sehingga dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya. Seperti : “Malas dan malu nyala pelita // seperti meratap mencucuri mata // seisi kamar berduka cita // seperti takut, gentar berkata”  Jassin (dalam Pradopo, 2005:76).
f.     Metonimia adalah kiasan pengganti nama atau objek, seperti contoh dari Altenbernd: “Tongkat kerajaan dan mahkota harus runtuh”-tongkat kerajaan dan mahkota untuk menggantikan pemerintah (raja).
g.    Sinekdoki (Synecdoche) adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting dari suatu benda untuk benda atau hal itu sendiri. Sinekdoki terbagi dua : (1) pars pro toto, sebagian untuk keseluruhan, seperti “kupanjat dinding dan hati wanita” Ajip Rosidi, dan (2) totum pro parte, keseluruhan untuk sebagian, seperti “kujelajah bumi” Sitor Situmorang.
Aminuddin (2004:143-144) menambahkan berikut ini.
h.    Anafora yakni pengulangan kata atau fease pada awal dua larik puisi secara berurutan untuk penekanan atau keefektifan bahasa. Misalnya: “tak ada yang memerlukan lagi // tak ada yang memanggil kembali” Sapardi Djoko Damono (dalam Aminuddin, 2004:143).
i.      Oksimoron, yakni gaya bahasa yang menggunakan penggabungan kata yang sebenarnya acuan maknanya bertentangan. Misalnya: “kita mesti berpisah // sebab sudah terlampau lama bercinta” Sapardi Djoko Damono (dalam Aminuddin, 2004:144).
2.3.1.4  Imaji/Pengimajian (pencitraan)
     Yakni pembayangan kembali (reproduksi mental suatu ingatan) terhadap pengalaman sensasional (perasaan) dan pengalaman persepsional (fikiran). Gambaran-gambaran angan dalam sajak disebut citraan (imagery). Pradopo (2005:81-93) memberi contoh-contoh citraan yang dihasilkan oleh indera penglihatan yakni citraan penglihatan (visual imagery), pendengaran yakni citraan pendengaran (auditory imagery), perabaan, pencecapan, dan penciuman, bahkan juga oleh pemikiran dan gerakan atau citraan gerak (movement imagery) atau kinaesthetic imagery.
2.3.1.5   Tipografi, selain untuk menampilkan aspek artistik visual juga untuk memberikan nuansa makna dan suasana tertentu.
2.3.1.6   Gaya bahasa dan sarana retorika. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hdup dalam hati penyair. Gaya bahasa menghidupkan dan memberi gerak pada kalimat. Kata Middleton Mury, gaya bahasa merupakan idiosyncracy (keistimewaan, kekhususun) seorang penulis, dan Buffon menyatakan bahwa gaya itu adalah orangnya sendiri, cap seorang pengarang (Pradopo, 2005:93). Selanjutnya dikemukakan oleh Pradopo tentang sarana retorika, kata Altenbernd merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran.
Gaya bahasa kepuitisan, seperti dikemukakan Pradopo (2005:95-100) meliputi :
(1)          Tautologi, ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, agar lebih mendalam bagi pembaca. Misalnya: tiada kuasa tiada berdaya; silih berganti tiada berhenti.
(2)          Pleonasme (keterangan berulang) mirip tautologi, tetapi kata kedua sudah tersimpul dalam kata pertama. Misalnya: naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah.
(3)          Enumerasi ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal untuk lebih memperjelas.
(4)          Paralelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Misalnya: segala kulihat segala membayang // segala kupegang segala mengenang.
(5)          Retorik retisense dengan mempergunakan titik-titik banyak pengganti perasaan yang tak terungkapkan.
(6)          Sarana retorik hiperbola yaitu sarana yang melebih-lebihkansesuatu hal atau keadaan. Sajak-sajak Angkatan 45 banyak menggunakan ini.

2.3.2        Lapis Makna Puisi
Aminuddin (2004:149-151) menyarankan untuk memahami lapis makna sebagai suatu totalitas yang dibentuk oleh elemen atau unsur intrinsik puisi, bisa menggunakan acuan berpikir yang dikembangkan oleh I.A. Richards yang membagi lapis makna meliputi (1) sense, (2) subject matter, (3) feeling, (4) tone, (5) total of meaning, dan (6) theme, serta intention.
2.3.2.1  Sense, adalah gambaran makna yang berhubungan dengan dunia, atau makna puisi secara umum.
2.3.2.2  Subject matter, yakni satuan-satuan pokok pikiran yang terkandung dalam setiap bait atau setiap larik puisi.
2.3.2.3  Feeling, yakni sikap pengarang terhadap kesatuan pokok-pokok pikiran.
2.3.2.4  Tone, yakni sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok pikiran yang ditampilkan dalam puisinya.
2.3.2.5   Total of meaning, atau totalitas makna adalah keseluruhan makna yang berhasil disimpulkan dari analisis kandungan makna puisi.
2.3.2.6  Theme atau tema adalah ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna dalam suatu puisi. Tema berbeda dengan pandangan moral ataupun message, karena bidang cakupan tema lebih luas daripada pandangan moral maupun message. Intention, amanat dan adalah pesan moral (message) yang disampaikan penyair.
Analisis Lapis Makna Puisi (Total of meaning) atau totalitas makna yang berhasil disimpulkan dari analisis kandungan makna puisi tersebut bisa disusun dalam kalimat sebagai tema puisi.

BAB III    METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Metodologi Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah, metodologi menempati peranan yang sangat penting sesuai dengan obyek penelitian.
Yang dimaksudkan dengan metodologi di sini adalah kerangka teoritis yang dipergunakan oleh penulis untuk menganalisa, mengerjakan, atau mengatasi masalah yang dihadapi itu. Kerangka teoritis atau kerangka ilmiah merupakan metode-metode ilmiah yang akan diterapkan dalam pelaksanaan tugas itu  (Keraf, 2001:310).

3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian (research methods) adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti dalam merancang, melaksanakan, mengolah data, dan menarik kesimpulan berkenaan dengan masalah penelitian tertentu (Sukmadinata, 2006:317).
Metode penelitian adalah cara untuk mengungkapkan atau menganalisa suatu permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, penulis memerlukan metode. Metode merupakan cara kerja yang harus ditempuh dalam suatu penelitian ilmiah.
Penelitian ini berjudul Analisis Interpretasi Unsur-Unsur Intrinsik Sajak Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron. Pendekatan yang digunakan adalah melalui metode analisis deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena-fenomena, peristiwa, aktivitas sosial secara alamiah (Sukmadinata, 2006:319). Sehingga penelitian ini berupaya memaparkan secara rinci, sistematis, cermat, dan faktual mengenai unsur-unsur intrinsik yang meliputi lapis bentuk dan lapis makna dalam puisi Ibu.
3.3 Sumber Data
Sumber data penelitian ini diambil dari sebuah sajak berjudul Ibu yang terdapat dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron. Alasan pemilihan judul puisi/sajak tersebut didasari oleh keinginan memahami gagasan pengarang, pandangan etis, pandangan filosofis, dan pandangan agamis yang tertuang dalam karyanya melalui pesan amanat pengarang sebagai upaya didaktik terhadap kehidupan ini. Dari segi tema, tersirat suatu kenangan penghormatan dan kekaguman seorang D. Zawawi Imron remaja terhadap sosok ibunda tercinta. Mengingat sajak Ibu diciptakan tahun 1966, yang merupakan fase awal proses perjalanan kreatif kepenyairan sang budayawan Madura yang masih produktif hingga kini ini.
3.4 Data
            Data dalam penelitian ini berupa fakta tekstual karya sastra berupa puisi yang dijadikan bahan untuk mencapai tujuan penelitian. Wujud data berupa paparan bahasa tekstual pada karya sajak/puisi berjudul Ibu yang terdapat dalam Kumpulan Sajak/Puisi Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron.

3.5 Teknik Penelitian
3.5.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi dokumenter (documentary study) dengan cara pencatatan, pengidentifikasian, pengklasifikasian paparan data tekstual karya sastra berupa sajak Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron.
3.5.2 Teknik Pengolahan Data
Data berupa dokumen-dokumen yang sudah terkumpul kemudian sesuai tujuan penelitian dianalisis (diurai), dibandingkan, dan dipadukan (sintesis) sehingga membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh.
3.5.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data ditempuh dengan kegiatan mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan memverifikasi dari data-data yang dikumpulkan secara induktif dengan menggunakan analisis yang bersifat naratif-kualitatif  Geoffrey E. Mills (dalam Sukmadinata, 2006:156).
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Tahap Persiapan
Dimulai dari merumuskan tujuan penelitian, merumuskan  gambaran kerja, membuat desain dengan membuat pedoman kerja hingga menemukan kemantapan desain penelitian.
3.6.2 Tahap Pelaksanaan
            Berupa telaah pustaka, pengumpulan data, analisis data, sampai penyimpulan yang kesemuanya masih dalam bentuk draf/naskah kasar.
3.6.3 Tahap Penyelesaian
            Tahap penyelesaian penelitian dilalui dengan penerapan langkah-langkah: penyusunan draf menjadi naskah semifinal, penyusunan dan pengajuan proposal penelitian, menerima arahan pembimbingan kemudian pengetikan/komputerisasi setelah melalui revisi, penyusunan naskah final dan penggandaan laporan hasil penelitian hingga pengujian laporan hasil penelitian (skripsi).

BAB IV  ANALISIS  DATA
4.1 Pengantar
Proses kreatif penulisan sajak atau puisi tiap penyair berbeda-beda. Ada yang bersamadi untuk mencari ‘ilham’, ada yang mencorat-coret di belakang meja sambil menyulut berbatang-batang rokok, ada pula penyair yang dapat menciptakan puisi apabila ia sedang merasa jatuh cinta pada seseorang. Logikanya ‘ilham’ tidak dapat ditunggu karena datangnya sewaktu-waktu, dan apabila sudah hadir rasanya mendesak-desak untuk segera diekspresikan ibarat bayi yang akan lahir dari rahim ibu. Apabila tidak langsung diekspresikan, penyairnya akan kehilangan mood.

Puisi yang estetis pilihan kata-katanya ekspresif, sugestif, asosiatif, dan magis. Jalinan kata-katanya runtut, tidak ada satu kata pun yang mengganggu imajinasi penikmat/pembacanya. Hal ini juga berlaku bagi penyair yang dalam pentas kepenyairan Indonesia dikenal sebagai penyair Periode tahun 1960-1980, yakni D. Zawawi Imron yang disejajarkan seangkatan dengan penyair lain seperti Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M, Linus Suryadi Ag., Yudhistira Ardinugraha Massardi.

Sebagaimana yang menjadi kajian memahami lapis makna sebagai suatu totalitas yang dibentuk oleh elemen atau unsur intrinsik puisi atau sajak dengan menggunakan pendekatan seperti yang dianjurkan Aminuddin (2004) dengan menerapkan acuan berpikir yang dikembangkan oleh I.A. Richards, maka hasil analisis sajak “Ibu” karya D. Zawawi Imron dideskripsikan dengan membagi lapis makna meliputi (1) sense, (2) subject matter, (3) feeling, (4) tone, (5) total of meaning, dan (6) theme, serta intention.

Berdasarkan kajian teori yang dikemukakan pada bab sebelumnya, berikut ini diuraikan paparan data hasil analisis makna sajak “Ibu” dalam kumpulan sajak Madura, Akulah Darahmu! Karya D. Zawawi Imron.

4.2 Deskripsi Data

Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, berikut penulis kutip secara utuh sajak Ibu yang diciptakan tahun 1966 oleh penyair  kelahiran Sumenep, Madura, D. Zawawi Imron.


IBU

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku disini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.

4.3 Hasil Analisis Data

Bagi penyair D. Zawawi Imron, ibu adalah segala-galanya. Yang menarik dari sajak tersebut yaitu bahwa dalam menyatakan cinta kepada sang ibu, D. Zawawi Imron menghadirkan suasana yang relatif khas Madura: kesadaran tentang kemarau hingga sumur-sumur kering, kesadaran merantau, kesadaran tentang kekayaan laut, dan kesadaran religius. Semua itu merupakan kesadaran masyarakat Madura lingkungan alam mereka, baik daratan maupun lautan, yang terstruktur dalam sistem sosial mereka. Demikianlah para petani menyadari tentang kemarau yang di Madura terjadi relatif panjang, rata-rata selama enam bulan per tahun, mereka juga menyadari tentang kekayaan laut sebagai anugerah Ilahi yang patut disyukuri, menyadari pula kemungkinan merantau lewat jalan itu-jaln laut. Dan mereka memiliki kesadaran religius karena kuatnya pengaruh Islam di sana. Tentu saja, kenyataan seperti itu bukanlah monopoli tradisi Madura. Namun, tidak bisa disangkal bahwa itulah realitas sosial-budaya masyarakat Madura.

Dalam puisi “Ibu” aku lirik jelas memposisikan diri sebagai anak dan memposisikan “engkau” sebagai ibu (…aku tahu/engkau ibu dan aku anakmu). Aku lirik juga memposisikan diri sebagai seorang anak yang merasa …hutangku padamu tak kuasa kubayar. Sementara itu, kalau aku merantau lalu datang musim kemarau, sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting, aku lirik memposisikan ibu sebagai satu-satunya …mataair airmata … yang tetap lancar mengalir. Aku lirik juga memposisikan ibu sebagai gua pertapaan dan orang … yang meletakkan aku di sini. Bila kasih ibu ibarat samudra, maka lautan teduh akan terasa sempit, dan itu berarti semua kandungan lautan – lokan-lokan, mutiara, kembang laut – adalah bagi aku lirik sendiri. Paling jauh, bagi aku-lirik, ibu adalah bidadari yang berselendang bianglala.  

 

4.3.1 Analisis Struktur Batin (Struktur Abstrak) Sajak IBU Karya D. Zawawi Imron

Pendekatan secara analisis struktur batin (struktur abstrak) dari sajak Ibu  karya D. Zawawi Imron, dilakukan melalui tahapan analisis meliputi: sense, subject matter, feeling, tone, total of meaning, dan intention. uraian hasil analisis selengkapnya dipaparkan berikut ini.

 Sense, adalah gambaran umum. Setelah membaca secara keseluruhan sajak “Ibu”, bisa dijelaskan bila penyair menggambarkan kekaguman terhadap jasa seorang ibu, ibunya penyair sendiri. Kehidupan pengalaman masa kecilnya saat si penyair masih dalam naungan kasih sang ibundanya. Bagaimana masa kecil penyair nun di pelosok Madura dengan kondisi geografis serta peranan sosok ibu.

 

Subject matter, yakni topik/pokok pikiran dalam setiap bait atau setiap larik puisi. Sajak “Ibu” terdiri atas 6 bait atau 6 larik, karena setiap larik puisi membentuk bait. Pokok pikiran yang terkandung dalam setiap bait/larik  jika disusun dalam suatu kalimat adalah berikut ini.

Larik pertama, mengandung pokok pikiran yang bila disalin dalam kalimat lain yaitu : pengakuan hanya satu sumber air yaitu airmata ibu yang senantiasa mengalir walaupun di musim kemarau dan di saat aku merantau.

Larik kedua mencerminkan kandungan pokok pikiran yaitu: perasaan takkan mampu membayar hutang terhadap jasa air susu ibu sebagai pengganti kenakalan masa kecilku.

Pada larik ketiga, terkandung pokok pikiran: kerelaan bahwa dari rahim ibu yang melahirkanku dengan penuh rasa kasih sayang di langit dan bumi Madura ini.

Larik keempat: pernyataan tentang ibuku adalah pahlawan pertamaku yang kasihnya ibarat samudra, tempatku mandi dan mengarungi mencari rejeki.

Larik kelima: pengenalanku kepada Tuhanku lewat ibuku yang dengan samudra kasih ibu selalu  kuarungi dengan layar bahteraku.

Terakhir larik keenam terdapat pokok pikiran penyair yaitu: kekaguman terhadap ibu yang dimetaforakan sebagai sosok tercantik (bidadari) yang  berakhlak (berselendang) mulia/indah (bianglala).

Feeling, yakni sikap pengarang terhadap kesatuan pokok-pokok pikiran. Dari hasil analisis, penyair mengungkapkan bahwa betapa keberadaan sosok ibu, ibu kandung bahkan ibu pertiwi, seorang ibu disimpulkan sebagai sosok wanita yang banyak berjasa, cantik diri dan cantik budi serta berhati mulia terhadap anaknya.

Tone, yakni sikap penyair terhadap pembaca, dalam sajak “Ibu” adalah berupa himbauan, mengingatkan kepada kita pembaca agar tidak melupakan ibu, agar tahu betapa banyaknya jasa ibu. Ibu kandung dan juga termasuk Ibu Pertiwi-tanah air negeri tercinta.

Total of meaning, atau totalitas makna yang berhasil disimpulkan dari sajak “Ibu” adalah mengingatkan kita terhadap jasa dan kasih sayang ibu kita. Dari rahimnyalah kita dilahirkan di dunia. Dengan ketabahan, kereguhan, ketegaran, dan terutama dengan kasih sayangnyalah kita mengenal kasih Tuhan, menikmati karunia rejeki kita dari Tuhan lewat jasa kepahlawanan ibu.

Intention, amanat dan pesan moral (message) yang disampaikan penyair adalah ajakan berterima kasih kepada sosok keberadaan ibu, dan bersyukur kepada Tuhan. Hal ini sebagaimana diajarkan oleh Allah kepada hambaNya, bahwa salah satu bukti mengungkapkan rasa syukur kepada Allah adalah dengan berterima kasih kepada sesama makhluknya, terutama manusia. Dan manusia terdekat yang paling awal berjasa adalah ibu.

4.3.2 Analisis Struktur Lahir (Struktur Fisik) Sajak IBU Karya D. Zawawi Imron

Adapun pendekatan analisis struktur lahir (struktur fisik) sajak “Ibu” karya D. Zawawi Imron dilakukan dengan penelaahan pada: rima, diksi, majas, imaji, dan tipografi. Uaraian hasil analisis dikemukakan berikut ini.

1. Rima, adalah persamaan bunyi yang terdapat pada larik-larik sajak. Pada sajak “Ibu” tampak terutama berupa dominasi rima akhir, walau juga terdapat rima tengah. Jika struktur fisik puisi tersebut bisa dikatagorikan terdiri dari 6 bait, maka bait ke 1 memiliki 3 baris, bait ke 2 ada 4 baris, lalu bait 3 berjumlah 5 baris, bait ke 4 memiliki jumlah terbanyak yakni 9, bait ke 5 ada 2, dan terakhir bait ke 6 ada 4 baris. Untuk mengetahui penggunaan rima pada sajak Ibu, cetak tebal dan garis bawah sebagai penanda bukti penggunaan rima. Kita  simak mulai dari bait pertama, berikut ini kutipannya:

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

Baris pertama mutlak menggunakan bunyi vokal /u/ sebagai tengah dan rima akhir.  Dan pada baris  kedua, terasa adanya persamaan bunyi konsonan yaitu bunyi likuida  /r/ dan bunyi sengau /ng/ sebagai rima tengah dan rima akhir yang disebut bunyi asonansi. Lapis bunyi (sound stratum) yang ditimbulkan dari orkestra bunyi tersebut diklasifikasikan sebagai bunyi efoni (euphony) yaitu menuansakan perasaan mesra, indah, kekaguman, syukur, dan syahdu. Orkestrasi bunyi yang merdu ini menggambarkan perasan mesra, kasih sayang, dan cinta. Kemudian kita lihat kutipan bait kedua:


 bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar


 Pada bait kedua ini adanya dominasi persamaan bunyi vokal /u/ sebagai rima tengah dan rima akhir yang disebut bunyi asonansi, dan persamaan bunyi konsonan /n/ pada baris ke 3 dan ke 4 sehingga termasuk rima akhir bersifat aliterasi.   Suasana yang ditimbulkan masih menuansakan perasaan mesra dan syahdu, sehingga termasuk bunyi efoni (euphony). Kemudian  pada bait ketiga, kutipannya yaitu:


Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku disini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bait ketiga di atas terdiri 5 baris yang menampilkan kombinasi penataan bunyi-bunyi vokal (asonansi) sebagai rima tengah dan rima akhir yang didominasi vokal: /u/  bentuk rima akhir bersifat aliterasi dengan konsonan /k/ dan bunyi sengau yaitu /ng/. Nuansa yang ditimbulkan termasuk bunyi efoni (euphony) yaitu gambaran perasaan kasih yang amat indah.. Selanjutnya bait keempat:


bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu


Pada bait keempat terdiri dari 9 baris,  setiap akhir baris tampak sebagai rima akhir yang bersifat asonansi dengan bunyi vokal:/u/a/i/,.Lalu persamaan bunyi konsonan /n/, serta bunyi aspiran /h/ kesemuanya sebagai rima tengah dan rima akhir yang  menuansakan suasana efoni (euphony) yaitu perasaan kasih, bahagia, dan kenangan indah masa kecil.

 

Adapun kutipan pada bait kelima yang terdiri dari 2 baris sebagaimana berikut ini.


bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal


Pada bait ini peranan penggunaan bunyi konsonan /n/ sebagai rima tengah dan bunyi liquida /l/ sebagai rima akhir, terasa menuansakan orkestrasi paduan bunyi yang merdu, gambaran bunyi efoni (euphony) yang menyiratkan ungkapan kasih dan rasa syukur kepada Tuhan.

Kemudian yang terakhir yaitu kutipan bait keenam ada 4 baris, adalah berikiut ini.


Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.


Pada bait terakhir (keenam) ini terasa paduan bunyi vokal /u/ amat mendominasi, termasuk bersifat asonansi yang menuansakan orkestrasi kemerduan bunyi efoni (euphony) sehingga menyiratkan suatu kepuasan, kebanggaan, sanjungan kebahagiaan.

 

Diksi, yaitu pilihan kata sebagai simbol, hal ini karena bukan makna yang sebenarnya. Pada sajak “Ibu” terdapat diksi pada kata  gua pertapaanku sebagai simbol makna kehidupan di dalam kandungan. Kemudian kata pahlawan adalah sebagai simbol seseorang yang telah berjasa besar dan telah rela berkorban. Kata bidadari juga menyiratkan suatu simbol kecantikan lahiriah maupun keelokan akhlak/budi pekerti. Dan kata bianglala adalah pelangi sebagai suatu simbol keindahan.

 

Majas, adalah ungkapan gaya dan rasa bahasa yang menunjukkan kepiawaian penyair. Pada sajak “Ibu” pengarang menggunakan majas perbandingan yang disebut metafor.

Metafor berarti makna lain bukan makna sebenarnya, misalnya: bidadari yang berselendang bianglala, maka makna yang tersirat dari yang tersurat oleh metafor pengertian ini adalah berarti semacam kekaguman terhadap sosok cantik yang mengenakan pakaian serba indah berwarna-warni (pelangi). Bidadari adalah gambaran makhluk wanita yang amat cantik dan suci, sedangkan bianglala adalah pelangi yaitu simbol keindahan yang ditampakkan berupa aneka warna, hal ini menyiratkan makna bahwa kecantikan akan kesucian jasa perjuangan ibu (bagi aku sajak) menampakan kesan penuh keindahan (budi pekerti) dalam segala warna gerak aktivitas kehidupan.

Gua pertapaanku adalah metafor yang menyiratkan makna tempat aku lirik masih dalam pertapaan menanti giliran terlahir ke mayapada ini.

 

Imaji (pencitraan) yakni pembayangan kembali (reproduksi mental suatu ingatan) terhadap pengalaman sensasional (perasaan) dan pengalaman persepsional (fikiran). Pencitraan pada sajak “Ibu” berupa imaji visual yaitu pembayangan kembali pengalaman sensasional-perseptual terhadap gambaran yang nampak, terdapat pada: sumur-sumur, daunan, reranting, mataair, airmata, ibu, mayang siwalan, bunga, langit, bumi, samudra, lautan, lumut, diri, pukat, sauh, lokan-lokan, mutiara, kembang laut, bidadari, bianglala. Kemudian imaji gerakan yaitu pembayangan kembali pengalaman sensasional-perseptual yang berhubungan dengan gerakan, terdapat pada: merantau, mengalir, ronta, meletakkan, menunjuk, mengangguk, mandi, mencuci, berlayar, menebar, melempar, ditanya, kusebut, tunjukkan, berselendang, dan menulis.    Imaji hawa (panas/dingin) yakni membayangkan  secara emosional-perseptual terhadap hawa (panas atau dingin) terdapat pada: musim kemarau. Lalu imaji pembauan yaitu pembayangan kembali pengalaman sensasional-perseptual  yang berhubungan dengan bau/aroma, hal ini terdapat pada kata: bunga kembang, dan menyerbak.

Tipografi, selain untuk menampilkan aspek artistik visual juga untuk memberikan nuansa makna dan suasana tertentu. Dengan memperhatikan tampilan artistika penataan baris dan bait demi bait pada sajak Ibu, secara tipografi tampak pada sisi kiri memiliki struktur bentuk yang rata, hal ini  mengesankan suatu tampilan karakter stabil, lurus, teguh, mantab, dan meyakinkan. Sedangkan pada sisi sebelah kanan menuansakan gambaran yang secara psikologis bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang tidak stabil, tidak konstan, kadang pendek dan kadang panjang. Semacam gambaran perjalanan hidup penuh beragam permasalahan yang kadang bisa dituntaskan dengan singkat, tetapi juga kadang-kadang problematika tersebut harus diatasi dalam kurun yang panjang. Struktur ini juga mencerminkan suasana kehidupan yang variatif.

 

4.4 Ide Dasar yang Melandasi Tema dan Amanat Penyair dalam Sajak IBU Karya D. Zawawi Imron

Analisis interpretasi berarti menguraikan melalui ragam penafsiran yang dalam hal ini setiap karya seni bersifat multiinterpretable yakni setiap karya seni mengundang berbagai tanggapan yang beraneka. Keberagaman penafsiran menunjukkan apresiasi (kajian telaah penilaian) yang bervariatif dan semarak, semakin luas khasanah sastra semakin sehat pula kehidupan budaya suatu bangsa.

Untuk mengetahui ide dasar yang melandasi tema dan amanat penyair dalam sajak Ibu karya D. Zawawi Imron, berikut ini akan diuraikan interpretasi sajak Ibu melalui pendekatan analisis struktural dan semiotik. Hal ini berlandaskan pada pendapat bahwa sajak sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat, maka untuk memudahkan pemahaman perlu diberikan parafrase yang dimaksudkan untuk memberi ancar-ancar makna sajak. Hasil pemarafrasean tentunya bukanlah makna mutlak, melainkan sebagai salah satu tafsiran mengingat bahwa sajak itu bersifat polynterpretable atau tafsir ganda. (Pradopo, 2005:127-128)

Sajak ini merupakan monolog si aku kepada ibunya (ibu kandungnya dan juga Ibu Pertiwi, tanah kelahirannya, Madura). Parafrasenya sebagai berikut.

Wahai ibuku, kalau aku (pergi) merantau lalu datang(lah) musim kemarau, (di mana kebanyakan) sumur-sumur (menjadi) kering, (de)daunan pun (ber)gugur(an) bersama reranting, hanya (satu) mataair (yaitu) airmatamu (wahai) ibi, yang tetap (senantiasa) lancar mengalir.

Bila aku (pergi) merantau, (sehingga aku teringat) sedap (rasa) kopyor susumu dan ronta kenakalanku, di hati (teringat) (buah) mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan(ku), lantaran hutangku padamu (ibu) tak kuasa (tak sanggup) kubayar.

(Wahai) ibu (engkaulah) gua pertapaanku (ketika masih dalam kandunganmu), dan ibulah yang meletakkan (melahirkan) aku di sini, (di) saat bunga (sedang) (ber)kembang menyemerbak(kan) bau (rasa kasih) sayang(mu)(kepadaku), ibu menunjuk ke (arah) langit, kemudian ke (arah) bumi, aku (hanya) mengangguk meskipun (di dalam hatiku) kurang mengerti (apa maksud arah petunjuk ibu).

(Duhai ibu) bila (cinta) kasihmu ibarat (seluas) samudra, (rasanya masih) sempit lautan (itu) oleh (ke)teduh(an kasih sayangmu padaku), tempatku mandi (kasih sayangmu-mencari nafkah hidup), mencuci lumut (licin berbahaya membersihkan kepenatan hidup) pada diri(ku), (bumi kelahiranku) tempatku berlayar (mengarungi kehidupan), menebar pukat (jala penangkap ikan di lautan) dan melempar sauh (jangkar), lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua (engkau berikan) bagiku, (sehingga saat aku sekolah) kalau ikut ujian lalu ditanya (oleh guru) tentang (nama) pahlawan (yang paling berjasa dalam hidupku, (pasti namamu ibi, yang aku sebut paling dahulu, lantaran aku (paling) tahu, (bahwa nama pahlawan yang berjasa itu) engkau ibu dan (lantaran) aku (adalah) anakmu.

Bila aku (pergi merantau) berlayar (dengan perahu) lalu datang(lah) angin sakal(yang kencang), Tuhan yang ibu tunjukkan (kepadaku bagaimana Maha Pengasih dan Maha Penyayang) (ternyata) telah (a)ku kenal.

(Siapa yang paling kukagumi) ibulah itu, bidadari (cantik jelita lahir batin) yang berselendang (mengenakan) bianglala (pelangi keindahan budi), sesekali (pernah) datang (ke)padaku (perasaan itu), menyuruhku (berbuat sesuatu seperti) menulis (jasa ibu yang bagaikan luasnya) langit (kasih yang tak berbatas tepi karena luas) biru (warna keindahan hidup), dengan sajakku.

Berdasarkan pendekatan analisis struktural dan semiotik sajak Ibu di atas, dapatlah dideskripsikan ide dasar yang melandasi tema dan amanat penyair yaitu :

Ide dasar sebagai landasan tema sajak adalah kekaguman, rasa syukur, ungkapan haru atas jasa seorang ibu yang tak ternilai dan tak mungkin ada yang bisa menandinginya kecuali kasih sayang Tuhan. Dalam konteks makna ‘Ibu Pertiwi’ tanah Madura, tanah tumpah darah si aku (penyair), tanah kelahiran dengan segala kondisi dan kekayaan alamnya yang telah banyak memberi kehidupan baik dari alam laut dan buminya, laut dan bumi Madura. Dengan kata lain, tema sajak Ibu karya D. Zawawi Imron adalah ungkapan rasa syukur terhadap ‘ibu’.

Amanat penyair yang disampaikan dalam sajak Ibu adalah ajakan menyukuri nikmat karunia Tuhan lewat sosok dan peranan seorang ibu, yang kasih sayangnya diibaratkan sepanjang jalan bila dibanding bakti anak yang hanya sepanjang galah.

Sajak Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu! karya D. Zawawi Imron termasuk jenis sajak/puisi lirik. Puisi Lirik, adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala endapan pengalaman, sikap, serta suasana batin yang melingkupinya.


BAB  V      P E N U T U P

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis makna sajak “Ibu” karya D. Zawawi Imron yang terangkum dalam kumpulan sajak Madura, Akulah Darahmu!, yang diuraikan melalui pendekatan Analisis Struktural dan Semiotik, beberapa temuan hasil analisis bisa disimpulkan dalam paparan berikut ini.

Dengan sudut penceritaan “akuan” ,  penyair  memaparkan rasa kekagumannya, rasa keharuannya, rasa ketakberdayaannya membalas kasih sayang sosok ibu. Ibu yang dalam hal ini bisa dimaknai dalam arti sempit yaitu ibu kandung, juga bisa dimaknai dalam arti luas sebagai ibu pertiwi, tanah tumpah darah, yang bagi si penyair: Madura adalah tanah tumpah darah tercinta. Madura dengan segala latar geografis, latar sosial budayanya, dan kekayaan alamnya,  banyak memberi andil dalam pembentukan jiwa dan kepribadian si penyair.


Melalui pendekatan analisis struktural terhadap unsur-unsur pembentuk sajak, serta analisis semiotik sajak Ibu karya D. Zawawi Imron, dapat dideskripsikan bahwa penyair mengungkapkan rasa haru bercampur rasa syukur dan kekagumannya terhadap sang ibu yang dianalogkan sebagai sesosok bidadari yang berselendang bianglala, sesosok perempuan cantik yang dikirim dari surga turun ke dunia dengan berhiaskan keindahan budi pekerti.

 

Sajak Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu! karya D. Zawawi Imron termasuk jenis sajak/puisi lirik. Puisi Lirik, adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala endapan pengalaman, sikap, serta suasana batin yang melingkupinya. Khasanah sastra modern di Indonesia memang paling banyak diwarnai jenis puisi ini.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian terhadap makna sajak Ibu karya D. Zawawi Imron, serta kesimpulan yang dipaparkan di atas, beberapa saran berikut ini diharapkan memberi kontribusi terutama pada pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia di sekolah-sekolah.

Kepada Guru Bahasa dan Sastra Indonesia

Diharapkan agar hasil penelitian ini bisa memperluas wawasan apresiasi sajak atau puisi, terutama sebagai masukan dalam pembelajaran apresiasi sajak atau puisi melalui berbagai pendekatan dalam menganalisis suatu sajak atau puisi.

Kepada Siswa

Melalui pembelajaran apresiasi sajak atau puisi, wawasan pengetahun akan semakin luas bahkan nilai-nilai pengalaman hidup dan filosofi yang terkandung di dalamnya akan mengokohkan kepribadian. Oleh sebab itu, hendaknya siswa semakin menggemari karya sastra terutama sajak atau puisi.

Kepada Peneliti Selanjutnya

Terbuka peluang untuk meneliti unsur intrinsik dengan penekanan pendekatan yang lain, karena bagaimanapun mengapresiasi sajak atau puisi itu bersifat multiinterpretable membutuhkan pemahaman, penghayatan, dan pendalaman akan hakekat makna hidup dan kehidupan.

 


RUJUKAN PUSTAKA


Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra. Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh (YAA) Malang.

-----------------2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi. Bahasa dan Sastra Indonesia. Pengembangan Kemampuan Menulis Sastra. Jakarta: Direktorat PLP Dirjendikdasmen Depdiknas.

IKIP Malang. 1996. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian. Malang: Satgas OPP Bagian Proyek OPF. IKIP Malang.

Imron, D. Zawawi. 1999. Madura, Akulah Darahmu. Jakarta: Grasindo.

Keraf, Gorys. 2001. Komposisi. Flores: Nusa Indah

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rani, Supratman Abdul, dkk. 2004. Intisari Sastra Indonesia untuk SLTP. Bandung: CV Pustaka Setia.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sumardi, dkk. 1997. Pedoman Pengajaran Apresiasi Puisi SLTP & SLTA untuk Guru dan Siswa. Jakarta: PT Balai Pustaka.

Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia Pengantar Teori Dan Apresiasi. Ende Flores: Nusa Indah.

Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi Puisi. Panduan Untuk Pelajar Dan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
ABSTRAK

-------------------. Analisis Makna Sajak IBU Dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu! Karya D. Zawawi Imron.
Kata-kata Kunci : analisis, makna, sajak

Kegiatan apresiasi sastra termasuk sajak atau puisi, harus diawali dari sikap ketertarikan terhadap sastra sebagai suatu karya ciptaan pengarang yang di dalamnya terkandung beragam nilai-nilai kehidupan. Cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberi kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema kehidupan. Dalam pelaksanaan apresiasi sastra termasuk sajak atau puisi, bisa dimulai dari satu pendekatan di antara berbagai pendekatan yang dianjurkan. Pendekatan yang menawarkan keleluasaan sesuai tujuan suatu penelitian adalah melalui pendekatan analitis, karena pendekatan ini tidak harus mengkaji keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra.
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang: (1) struktur lahir (struktur fisik) atau lapis bentuk sajak/puisi Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu! Karya D. Zawawi Imron., (2) struktur batin (struktur abstrak) atau lapis makna sajak/puisi Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu Karya D. Zawawi Imron, dan (3) ide dasar yang melandasi tema dan amanat penyair berdasarkan totalitas makna sajak/puisi dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu Karya D. Zawawi Imron.
Sumber data penelitian ini adalah Sajak IBU dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu Karya D. Zawawi Imron, 1999. Dan wujud datanya terdapat berupa Sajak pada buku Kumpulan Sajak tersebut.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan melalui studi dokumentasi, yaitu penelitian yang mendeskripsikan hasil analisis makna sajak IBU dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu, 1999, Karya D. Zawawi Imron.
Berdasarkan analisis makna sajak Ibu dapat dipaparkan bahwa sajak tersebut bisa dipahami melalui pendekatan analisis struktur abstrak dan struktur kongkritnya. Sesuai tujuan penelitian maka sajak Ibu dapat dideskripsikan bahwa ide dasar yang melandasi tema dan amanat penyair setelah memahami totalitas maknanya adalah ungkapan seorang anak (aku lirik) atas rasa kekaguman, keharuan, rasa syukur, ketidakmampuan membalas budi terhadap jasa ibu.
Saran yang dianjurkan berkaitan hasil penelitian ini adalah agar pembelajaran sastra terutama sajak atau puisi dapat diajarkan dengan sebaik-baiknya kepada siswa dalam menggairahkan kegiatan apresiasi sastra Indonesia, di samping hasil karya sastra yang lain.

Penulis

1 komentar:

  1. ada makna puisi ibu karya d. zawawi imron ngga ?
    kok panjang bgt isinya...

    BalasHapus