Analisis Makna Sajak IBU
Dalam Kumpulan Sajak berjudul Madura, Akulah Darahmu!
Karya D. Zawawi Imron.
Oleh Sugeng Rianto
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pengajaran sastra sebenarnya
merupakan bagian dari pengajaran bahasa, keduanya memiliki hubungan keterkaitan
yang tak terpisahkan dan saling mengisi. Pengajaran sastra tidak saja menerima
nilai-nilai tertentu dari pengajaran bahasa, tetapi ia pun mampu memberikan
nilai-nilai tertentu kepada pengajaran bahasa. Pengajaran apresiasi sastra
dapat digunakan untuk membentuk nilai-nilai luhur, meningkatkan perasaan
religi, dan membentuk moral yang positif dalam diri siswa. Apresiasi sastra
seperti yang dirumuskan oleh Effendi (dalam Aminuddin, 2004:35) sebagai
kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga dapat
menumbuhkan kepekaan perasaan, pengertian, penghargaan, daya pikir kritis, serta siswa dapat memetik nilai-nilai moral
dan nilai kemanusiaan yang terkandung dalam sastra.
Pembelajaran sastra di
sekolah menengah lanjutan lebih jauh dikemukakan oleh Tjahjono Widarmanto
(Pusat Perbukuan Depdiknas, 2006:12) bertujuan mengembangkan kompetensi siswa
agar mampu mengapresiasi hasil karya sastra (berupa puisi, cerpen, novel,
drama) serta mampu memahami dan menggunakan pengertian teknis kesusastraan dan
sejarah sastra untuk menjelaskan, meresensi, menilai, menganalisis hasil
sastra, memerankan drama, menulis karya cipta sastra berupa puisi, cerpen, dan
novel. Ahmadi, dalam Tjahjono (2006:12) juga menguraikan bahwa pengajaran
apresiasi sastra berfungsi untuk (1) melatih keterampilan berbahasa siswa, (2)
menambah pengetahuan siswa tentang pengalaman hidup manusia, agama, dan
kebudayaan, (3) berperan mengembangkan kepribadian, (4) membantu pembentukan
watak, (5) memberikan hiburan atau rekreatif yang sehat, dan (6) meluaskan
dimensi kehidupan.
Kegiatan mengapresiasi karya
sastra termasuk sajak atau puisi, harus diawali dari sikap ketertarikan
terhadap sastra sebagai suatu karya ciptaan pengarang yang di dalamnya
terkandung beragam nilai-nilai kehidupan. Tidak berkelebihan jika Boulton
(dalam Aminuddin, 2004:37) beranggapan bahwa cipta sastra, selain menyajikan
nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberi kepuasan batin
pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau
kontemplasi batin, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat,
politik maupun berbagai macam problema kehidupan ini.
Bertolak
dari pendapat Boulton, Aminuddin (2004:38) lebih menegaskan bahwa cipta sastra
sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, yaitu (1)
unsur keindahan; (2) unsur kontemplatif hasil perenungan terhadap nilai-nilai
keagamaan, filsafat, politik, dan berbagai macam kompleksitas kehidupan; (3)
media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana; serta (4)
unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan karakteristik cipta sastra
sebagai suatu teks. Diungkapkan pula, bahwa bekal awal yang harus dimiliki
seorang calon apresiator adalah (1) kepekaan emosi sehingga mampu memahami
unsur-unsur keindahan di dalam cipta sastra, (2) wawasan pengetahuan,
penghayatan, dan pengalaman atas kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman aspek
kebahasaan, dan (4) kepekaan terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang
berhubungan dengan telaah teori sastra.
Dalam pelaksanaan apresiasi
sastra termasuk sajak atau puisi, bisa dimulai dari satu pendekatan di
antara berbagai pendekatan yang dianjurkan oleh Aminuddin (2004:40). Pendekatan
yang menawarkan keleluasaan sesuai tujuan suatu penelitian adalah melalui
pendekatan analitis, karena pendekatan ini tidak harus mengkaji keseluruhan
aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra (Aminuddin, 2004:45).
Seorang guru bahasa dan
sastra Indonesia, dalam keterkaitan panggilan dedikasinya terhadap tugas pengajaran
apresiasi sastra khususnya sajak atau puisi, pada dirinya dituntut harus
memiliki modal sikap dan kemampuan mencintai, mengakrabi, dan menggauli sastra
terlebih dahulu sebelum membimbing dan mengarahkan siswa dalam memasuki dunia
yang penuh imajinasi, dunia sajak atau puisi. Maka, sejalan dengan pemikiran untuk mengungkap
nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra terutama puisi, penelitian
ini memfokuskan pada analisis unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam
sajak/puisi berjudul Ibu yang
terangkum dalam Kumpulan Sajak Madura,
Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron.
1.2 Masalah
1.2.1
Ruang Lingkup masalah
Cipta
sastra sebenarnya mengandung unsur yang sangat kompleks, sehingga untuk tujuan
mengapresiasi bisa dilakukan melalui
beberapa pendekatan yang meliputi pendekatan : parafrastis, emotif, analitis,
historis, sosiopsikologis, dan pendekatan didaktis. Berkaitan proses
kelangsungan apresiasi Olsen (dalam Aminuddin, 2004:40) menawarkan sejumlah
pendekatan meliputi: pendekatan emotif, ekspresif, kognitif, semantis, dan
pendekatan struktural. Juga dikemukakan terdapat sejumlah teori sebagai
landasan apresiasi sastra meliputi: teori: fenomenologi, hermeneutika,
formalisme, strukturalisme, semiotika, teori resepsi, dan teori psikoanalisis.
1.2.2
Batasan masalah
Berdasarkan ruang lingkup
masalah yang sedemikian luas cakupannya untuk mengapresiasi karya, oleh
keterbatasan waktu perlu adanya pembatasan masalah. Maka penelitian ini dibatasi
pada masalah Analisis Makna Sajak Ibu
dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu! Karya D. Zawawi Imron.
1.2.3
Rumusan Masalah
Bertolak
dari pembatasan masalah di atas, masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
(1) Bagaimanakah gambaran
struktur batin (struktur abstrak) atau lapis makna puisi Ibu dalam Kumpulan Puisi Madura,
Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron?
(2)
Ide dasar apakah yang melandasi tema dan pesan amanat penyair setelah
mengetahui totalitas makna puisi Ibu dalam
Kumpulan Puisi Madura, Akulah Darahmu
karya D. Zawawi Imron?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Secara
umum, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan secara obyektif tentang struktur
intrinsik yang berupa lapis makna puisi Ibu
dalam Kumpulan Puisi Madura, Akulah
Darahmu karya D. Zawawi Imron.
1.3.2
Tujuan Khusus
Secara
khusus, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi yang obyektif
tentang struktur intrinsik puisi Ibu karya D. Zawawi Imron.
(1)
Mendeskripsikan struktur batin (struktur anstrak) atau
lapis makna Puisi Ibu dalam Kumpulan
Puisi Madura, Akulah Darahmu karya D.
Zawawi Imron.
(2)
Mendeskripsikan ide dasar yang melandasi tema dan pesan
amanat penyair setelah mengetahui totalitas makna puisi Ibu dalam Kumpulan Puisi Madura,
Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron
1.4 Penegasan Istilah
Untuk menyamakan pemahaman
sehingga terhindarkan dari kemungkinan terjadinya perbedaan penafsiran
berkaitan dengan penggunaan istilah yang dikemukakan dalam penelitian ini,
berikut ditegaskan beberapa istilah meliputi:
(1) Analisis adalah istilah yang
berasal dari bahasa Inggris analysis
yang berarti menguraikan sesuatu, termasuk menguraikan unsur-unsur dalam
struktur karya sastra.
(2) Interpretasi adalah
penafsiran terhadap sesuatu (Rani,
2004:281).
(3) Unsur-unsur Intrinsik adalah
unusr-unsur puisi yang secara intrinsik terkandung di dalam sebuah karya puisi.
(4) Sajak atau Puisi adalah
bentuk karangan yang terikat yang terdiri atas beberapa baris, dan baris-baris
itu menunjukkan pertalian makna serta membentuk sebuah bait atau lebih sebagai
buah pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera
dalam susunan yang berirama.
(5) Kumpulan Sajak adalah sebuah
buku terbitan tahun 1999 oleh penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta yang memuat 100 sajak-sajak
pilihan karya penyair Madura yakni D. Zawawi Imron yang diciptakan sejak tahun
1966 hingga 1996. Kumpulan sajak tersebut berjudul Madura, Akulah Darahmu.
1.5 Hasil yang Diharapkan
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis maupun teoritis demi
perkembangan bahasa dan pengembangan dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Manfaat praktis yang dimaksud berkaitan erat dengan upaya mengakrabi dan
menggauli hasil karya sastra berupa puisi. Kemudian diharapkan berguna juga
untuk mengetahui gambaran dari penguasaan segi analisis interpretasi unsur
intrinsik (struktur fisik dan struktur abstrak) di dalam karya puisi. Selain
itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai umpan balik bagi guru Bahasa
Indonesia tentang bagaimana menafsirkan puisi dengan menggunakan pendekatan
secara analisis melalui struktur lahir (lapis bentuk puisi) dan struktur batin
(lapis makna). Adapun manfaat teoritis penelitian ini adalah setidak-tidaknya
menambah khasanah kepustakaan bahasa Indonesia khususnya bidang apresiasi
puisi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Pada prinsipnya penelitian
tentang Analisis Interpretasi Unsur Intrinsik Puisi Ibu dalam Kumpulan Puisi Madura,
Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron
ini memanfaatkan kajian interdisipliner, artinya penelitian ini dalam
upaya menginterpretasi karya sastra memerlukan ilmu terapan dengan mengkaji
kepustakaan yang relevan. Beberapa kajian sebagai tinjuan pustaka yang relevan,
meliputi (1) tinjauan pengertian puisi dan sajak, (2) tinjauan terhadap
apresiasi puisi/sajak, (3) tinjauan terhadap analisis struktur fisik (struktur
lahir/lapis bentuk) puisi, dan (4) tinjauan terhadap analisis struktur abstrak
(struktur batin/lapis makna) puisi.
2.2 Pengertian dan Ragam
Puisi
2.2.1 Pengertian Puisi
Ada tiga karya sastra, yaitu
prosa, puisi, dan drama. Puisi adalah karya sastra tertulis yang paling awal
ditulis oleh manusia. Batasan tentang
pengertian puisi, hingga kini belum bisa didefinisikan secara tepat. Secara
intuitif orang mengerti puisi hanya berdasarkan konvensi wujud puisi, yang
dalam sejarah perkembangannya wujud puisi selalu berubah Riffaterre (dalam Pradopo, 2005:4). Akhirnya
banyak pendapat yang mengemukakan
tentang pengertian puisi.
Beberapa pendapat yang
mengemukakan definisi tentang puisi, antara lain dikemukakan Pradopo (2005:5-7)
berikut ini.
(1) Puisi adalah bentuk karangan
yang terikat, sedangkan prosa ialah bentuk karangan bebas Wirjosoedarmo (dalam Pradopo, 2005:5).
(2)
Definisi puisi menurut Altenbernd (Pradopo, 2005:5) adalah pendramaan
pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama
(bermetrum) (as the interpretive
dramatization of experience in metrical language).
(3) Pradopo (2005:7) merumuskan
bahwa puisi itu merupakan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang
imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan rekaman
dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang
paling berkesan.
Sebelumnya
Tjahjono (1988:49-50) telah mengemukakan beberapa pendapat :
(1) HB Jassin: Puisi adalah
pengucapan dengan perasaan sedangkan prosa pengucapan dengan pikiran.
(2) Matthew Arnold: Puisi
merupakan bentuk organisasi tertinggi dari kegiatan intelektual manusia.
(3) William Henry Hudson: Sastra
(juga puisi) merupakan ekspresi dari kehidupan yang memakai bahasa sebagai
mediumnya.
(4) Bradley: Puisi adalah
semangat. Dia bukan pembantu kita, tetapi pemimpin kita.
(5) Ralph Waldo Emerson: Puisi
mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sedikit mungkin.
(6) John Dryden: Puisi adalah
musik yang tersusun rapi.
(7) Issac Newton: Puisi adalah
nada yang penuh keaslian dan keselarasan.
(8) William Wordsworth: Puisi
adalah luapan spontan dari perasaan yang
penuh daya,, memperoleh rasanya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan
kembali dalam kedamaian.
(9) Lord Byron: Puisi adalah
lavanya imajinasi, yang letusannya mampu mencegah adanya gempa bumi.
(10) Watts-Dunton: Puisi adalah
ekspresi konkret dan artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan
berirama.
(11) S. Effendi: Karya sastra
yang terdiri atas beberapa baris, dan baris-baris itu menunjukkan pertalian
makna serta membentuk sebuah bait atau lebih, biasa disebut puisi.
(12) Samuel Johnson: Puisi adalah
seni pemaduan kegairahan dengan kebenaran, dengan mempergunakan imajinasi
sebagai pembantu akal pikiran.
Mengutip pendapat McCaulay, Hudson (dalam Aminuddin,
2004:134) mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang
menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan
imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam
menggambarkan gagasan pelukisnya.
Tinjauan Puisi secara
Etimologis, kata puisi berasal dari bahasa Yunani poesima/pocima yang berarti membuat, poeisis ‘pembuatan’, atau
poeties yang berarti pembuat, pembangun, atau pembentuk. Dalam bahasa Inggris
disebut poem atau poetry, yang artinya tak jauh berbeda
dengan to make atau to create, sehingga pernah lama sekali
di Inggris puisi itu disebut maker.
Puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan” karena lewat puisi pada dasarnya
seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan
atau gambaran suasana-suasana tertentu baik fisik maupun batiniah (Tjahjono, 1988:50) dan (Aminuddin, 2004:234)
.
2.2.2 Ragam Puisi
Tinjauan puisi dari bentuk dan isinya, menurut
Aminuddin (2004:134-136) dan Tjahjono (1988:73-85) ragam puisi dibedakan
berikut ini.
(1) Puisi Epik, yaitu puisi yang mengandung cerita kepahlawanan (berkaitan legenda,
kepercayaan, maupun sejarah). Puisi Epik terbagi lagi menjadi folk epic yakni
puisi yang nilai akahir untuk dinyanyikan, dan literary epic bila tujuan akhir
puisi untuk dibaca, dinikmati, dipahami, dan diresapi maknanya.
Misal: puisi Nawang Wulan karya Subagio
Sastrowardojo)
(2) Puisi Naratif, yakni puisi yang mengandung unsur cerita dan menampilkan pelaku,
perwatakan, latar, dan alur yang menjalin suatu cerita. Termasuk puisi naratif
adalah balada (cerita kesedihan) yang meliputi folk ballad dan literary ballad;
dan poetic tale sebagai puisi yang berisi dongeng atau cerita rakyat.
Contoh: puisi Balada Anita karya WS. Rendra.
(3) Puisi Lirik, adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan
segala endapan pengalaman, sikap, serta suasana batin yang melingkupinya.
Khasanah sastra modern di Indonesia paling banyak diwarnai jenis puisi ini.
Contoh: Di Beranda Ini Angin Tak
Kedengaran Lagi karya Goenawan Mohamad.
(4) Puisi Dramatik, yaitu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku
seseorang/penyair sendiri lewat lakuandialog maupun monolog sehingga mengandung
gambaran kisah tertentu. Contoh: Mentari
& Bulan karya Tengsoe Tjahjono.
(5) Puisi Epigram adalah bentuk puisi pendek yang berisi nasihat tentang ajaran, etika pergaulan,
tata krama, dan sebagainya. Gurindam dalam puisi lama dapat digolongkan sebagai
bentuk puisi epigram.
(6) Puisi Didaktik, yaitu puisi yang mengandung nilai-nilai pendidikan yang umumnya
tampak secara eksplisit. Contoh: Mereka
Menunggu Ibunya karya Abdul Hadi WM.
(7) Puisi Satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan,
ketimpangan, dan ketidakberesan sistem kehidupan suatu komunitas atau suatu
tatanan masyarakat. Contoh: Kita Adalah
Pemilik Sah Republik Ini, karya Taufiq Ismail.
(8) Romance atau Romans, yakni puisi yang
berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap kekasihnya. Contoh: Dialog, karya
Krishna Mustajab.
(9) Elegi,
yakni jenis puisi ratapan yang mengungkapkan rasa sedih seseorang. Misalnya:
puisi berjudul Elegi, karya Linus
Suryadi AG.
(10)Ode,
yaitu puisi yang berisi pujian atau sanjungan terhadap seseorang yang memiliki
jasa maupun sikap kepahlawanan. Contoh: In Memoriam: Prof. Drs. S. Wojowasito,
karya Tengsoe Tjahjono.
(11)Himne,
yaitu puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap
bangsa dan tanah air tercinta. Contoh: Tanah
Sunda, karya Ajip Rosidi.
2.3
Unsur Pembentuk Puisi
Terdiri dari unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik. Berdasarkan unsur intrinsik pembentuknya, puisi terdiri atas
unsur (1) bangun struktur, dan (2) lapis makna.
2.3.1
Bangun Struktur Puisi
Bangun struktur puisi adalah
unsur pembentuk puisi yang dapat dilihat secara visual, yang meliputi (1)
bunyi, (2) kata/diksi, (3) larik/baris, (4) bait, dan (5) tipografi Aminuddin (2004:136-147). Pendekatan analisis
struktur ini dengan penelaahan meliputi: rima,
diksi, majas, imaji, dan tipografi.
2.3.1.1 Beberapa konsep masalah
bunyi meliputi :
A. Rima,
adalah bunyi yang berulang/berselang, dan di dalamnya mengandung aspek (a)
asonansi atau runtun vokal, (b) aliterasi atau purwakanti, (c) rima akhir, (d)
rima dalam, (e) rima rupa, (f) rima identik, dan (g) rima sempurna.
B. Irama,
yakni paduan bunyi yang menimbulkan musikalitas menyangkut alunan keras-lunak,
tinggi-rendah, panjang-pendek, dan lemah-kuat sehingga menimbulkan kemerduan
dan sebagainya yang timbul akibat penataan rima, pemberian aksentuasi, dan
intonasi.
C. Ragam bunyi meliputi euphony, bunyi cacophony, dan anomatope.
2.3.1.2 Kata, yaitu pilihan kata sebagai simbol, hal
ini karena bukan makna yang sebenarnya. Pemilihan kata untuk mengungkapkan
suatu gagasan disebut diksi. Diksi yang baik berhubungan dengan pilihan kata
yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu
mengajuk daya imajinasi pembacanya.
2.3.1.3 Bahasa Kiasan, adalah ungkapan gaya dan rasa
bahasa (bahasa kiasan) yang menunjukkan kepiawaian penyair. Bahasa kiasan (figurative
language)(Pradopo, 2005: 61-79) digunakan dalam puisi untuk mendapatkan
kepuitisan sehingga sajak lebih menarik, segar, hidup dan memperjelas gambaran
angan. Beberapa contoh gaya bahasa dalam puisi meliputi:
a. Simile,
yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain mempergunakan
kata-kata pembanding seperti: bagai, bak, laksana. Contohnya: “tersenyum beta
laksana arca” Jassin (dalam Pradopo, 2005:62).
b. Metafor yakni pengungkapan acuan makna yang lain selain makna sebenarnya,
tanpa menggunakan kata-kata pembanding. Seperti: “Bumi ini perempuan
jalang” Subagio (dalam Pradopo,
2005:66).
c. Epic simile yaitu perumpamaan atau perbandingan epos yaitu perbandingan yang
diperpanjang.
d. Allegori ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, dan sering terdapat pada
sajak-sajak Pujangga Baru.
e. Personifikasi, kiasan ini mempersamakan benda-benda dengan manusia sehingga dapat
berbuat, berpikir, dan sebagainya. Seperti : “Malas dan malu nyala pelita //
seperti meratap mencucuri mata // seisi kamar berduka cita // seperti takut,
gentar berkata” Jassin (dalam Pradopo,
2005:76).
f. Metonimia adalah kiasan pengganti nama atau objek, seperti contoh dari
Altenbernd: “Tongkat kerajaan dan mahkota harus runtuh”-tongkat kerajaan dan
mahkota untuk menggantikan pemerintah (raja).
g. Sinekdoki (Synecdoche) adalah bahasa
kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting dari suatu benda untuk benda
atau hal itu sendiri. Sinekdoki terbagi dua : (1) pars pro toto, sebagian untuk keseluruhan, seperti “kupanjat
dinding dan hati wanita” Ajip Rosidi, dan (2) totum pro parte, keseluruhan
untuk sebagian, seperti “kujelajah bumi” Sitor Situmorang.
Aminuddin (2004:143-144)
menambahkan berikut ini.
h. Anafora yakni pengulangan kata atau fease pada awal dua larik puisi secara
berurutan untuk penekanan atau keefektifan bahasa. Misalnya: “tak ada yang
memerlukan lagi // tak ada yang memanggil kembali” Sapardi Djoko Damono (dalam
Aminuddin, 2004:143).
i. Oksimoron, yakni gaya bahasa yang menggunakan penggabungan kata yang sebenarnya
acuan maknanya bertentangan. Misalnya: “kita mesti berpisah // sebab sudah
terlampau lama bercinta” Sapardi Djoko Damono (dalam Aminuddin, 2004:144).
2.3.1.4
Imaji/Pengimajian (pencitraan)
Yakni pembayangan kembali (reproduksi mental
suatu ingatan) terhadap pengalaman sensasional (perasaan) dan pengalaman
persepsional (fikiran). Gambaran-gambaran angan dalam sajak disebut citraan (imagery). Pradopo (2005:81-93) memberi
contoh-contoh citraan yang dihasilkan oleh indera penglihatan yakni citraan
penglihatan (visual imagery),
pendengaran yakni citraan pendengaran (auditory
imagery), perabaan, pencecapan, dan penciuman, bahkan juga oleh pemikiran
dan gerakan atau citraan gerak (movement
imagery) atau kinaesthetic imagery.
2.3.1.5 Tipografi, selain untuk menampilkan
aspek artistik visual juga untuk memberikan nuansa makna dan suasana tertentu.
2.3.1.6 Gaya bahasa dan sarana retorika. Gaya bahasa
ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hdup
dalam hati penyair. Gaya bahasa menghidupkan dan memberi gerak pada kalimat.
Kata Middleton Mury, gaya bahasa merupakan idiosyncracy
(keistimewaan, kekhususun) seorang penulis, dan Buffon menyatakan bahwa gaya
itu adalah orangnya sendiri, cap seorang pengarang (Pradopo, 2005:93).
Selanjutnya dikemukakan oleh Pradopo tentang sarana retorika, kata Altenbernd
merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran.
Gaya
bahasa kepuitisan, seperti dikemukakan Pradopo (2005:95-100) meliputi :
(1)
Tautologi, ialah sarana retorika yang
menyatakan hal atau keadaan dua kali, agar lebih mendalam bagi pembaca.
Misalnya: tiada kuasa tiada berdaya; silih berganti tiada berhenti.
(2)
Pleonasme (keterangan berulang) mirip
tautologi, tetapi kata kedua sudah tersimpul dalam kata pertama. Misalnya: naik
meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah.
(3)
Enumerasi ialah sarana retorika yang
berupa pemecahan suatu hal untuk lebih memperjelas.
(4)
Paralelisme (persejajaran) ialah
mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Misalnya: segala kulihat
segala membayang // segala kupegang segala mengenang.
(5)
Retorik retisense dengan mempergunakan
titik-titik banyak pengganti perasaan yang tak terungkapkan.
(6)
Sarana retorik hiperbola
yaitu sarana yang melebih-lebihkansesuatu hal atau keadaan. Sajak-sajak
Angkatan 45 banyak menggunakan ini.
2.3.2
Lapis Makna Puisi
Aminuddin (2004:149-151)
menyarankan untuk memahami lapis makna sebagai suatu totalitas yang dibentuk
oleh elemen atau unsur intrinsik puisi, bisa menggunakan acuan berpikir yang
dikembangkan oleh I.A. Richards yang membagi lapis makna meliputi (1) sense, (2) subject matter, (3) feeling,
(4) tone, (5) total of meaning, dan (6) theme,
serta intention.
2.3.2.1 Sense,
adalah gambaran makna yang berhubungan dengan dunia, atau makna puisi secara
umum.
2.3.2.2 Subject matter, yakni satuan-satuan pokok pikiran yang terkandung dalam setiap bait
atau setiap larik puisi.
2.3.2.3 Feeling, yakni sikap pengarang terhadap kesatuan pokok-pokok pikiran.
2.3.2.4 Tone,
yakni sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok pikiran yang
ditampilkan dalam puisinya.
2.3.2.5 Total of meaning, atau totalitas makna
adalah keseluruhan makna yang berhasil disimpulkan dari analisis kandungan
makna puisi.
2.3.2.6 Theme atau tema adalah ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan
makna dalam suatu puisi. Tema berbeda dengan
pandangan moral ataupun message, karena
bidang cakupan tema lebih luas daripada
pandangan moral maupun message.
Intention, amanat dan adalah pesan moral (message) yang disampaikan penyair.
Analisis Lapis Makna Puisi (Total of meaning) atau totalitas makna yang berhasil disimpulkan
dari analisis kandungan makna puisi tersebut bisa disusun dalam kalimat sebagai
tema puisi.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah, metodologi menempati
peranan yang sangat penting sesuai dengan obyek penelitian.
Yang dimaksudkan dengan
metodologi di sini adalah kerangka teoritis yang dipergunakan oleh penulis
untuk menganalisa, mengerjakan, atau mengatasi masalah yang dihadapi itu.
Kerangka teoritis atau kerangka ilmiah merupakan metode-metode ilmiah yang akan
diterapkan dalam pelaksanaan tugas itu
(Keraf, 2001:310).
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian (research methods) adalah cara-cara yang
digunakan oleh peneliti dalam merancang, melaksanakan, mengolah data, dan
menarik kesimpulan berkenaan dengan masalah penelitian tertentu (Sukmadinata,
2006:317).
Metode penelitian adalah
cara untuk mengungkapkan atau menganalisa suatu permasalahan yang menjadi obyek
penelitian. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, penulis memerlukan
metode. Metode merupakan cara kerja yang harus ditempuh dalam suatu penelitian
ilmiah.
Penelitian ini berjudul Analisis Interpretasi Unsur-Unsur Intrinsik
Sajak Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura,
Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron. Pendekatan yang digunakan adalah
melalui metode analisis deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif
adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
fenomena-fenomena, peristiwa, aktivitas sosial secara alamiah (Sukmadinata,
2006:319). Sehingga penelitian ini berupaya memaparkan secara rinci,
sistematis, cermat, dan faktual mengenai unsur-unsur intrinsik yang meliputi
lapis bentuk dan lapis makna dalam puisi Ibu.
3.3 Sumber Data
Sumber
data penelitian ini diambil dari sebuah sajak berjudul Ibu yang terdapat dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron. Alasan pemilihan
judul puisi/sajak tersebut didasari oleh keinginan memahami gagasan pengarang,
pandangan etis, pandangan filosofis, dan pandangan agamis yang tertuang dalam
karyanya melalui pesan amanat pengarang sebagai upaya didaktik terhadap
kehidupan ini. Dari segi tema, tersirat suatu kenangan penghormatan dan
kekaguman seorang D. Zawawi Imron remaja terhadap sosok ibunda tercinta.
Mengingat sajak Ibu diciptakan tahun
1966, yang merupakan fase awal proses perjalanan kreatif kepenyairan sang
budayawan Madura yang masih produktif hingga kini ini.
3.4 Data
Data dalam penelitian ini berupa
fakta tekstual karya sastra berupa puisi yang dijadikan bahan untuk mencapai
tujuan penelitian. Wujud data berupa paparan bahasa tekstual pada karya
sajak/puisi berjudul Ibu yang
terdapat dalam Kumpulan Sajak/Puisi Madura,
Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron.
3.5 Teknik Penelitian
3.5.1 Teknik Pengumpulan
Data
Teknik
yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi dokumenter (documentary study) dengan cara
pencatatan, pengidentifikasian, pengklasifikasian paparan data tekstual karya
sastra berupa sajak Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu karya D.
Zawawi Imron.
3.5.2 Teknik
Pengolahan Data
Data berupa dokumen-dokumen
yang sudah terkumpul kemudian sesuai tujuan penelitian dianalisis (diurai),
dibandingkan, dan dipadukan (sintesis) sehingga membentuk satu hasil kajian
yang sistematis, padu dan utuh.
3.5.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data
ditempuh dengan kegiatan mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan memverifikasi
dari data-data yang dikumpulkan secara induktif dengan menggunakan analisis
yang bersifat naratif-kualitatif
Geoffrey E. Mills (dalam Sukmadinata, 2006:156).
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Tahap Persiapan
Dimulai dari merumuskan
tujuan penelitian, merumuskan gambaran
kerja, membuat desain dengan membuat pedoman kerja hingga menemukan kemantapan
desain penelitian.
3.6.2 Tahap Pelaksanaan
Berupa telaah pustaka, pengumpulan
data, analisis data, sampai penyimpulan yang kesemuanya masih dalam bentuk
draf/naskah kasar.
3.6.3 Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian penelitian
dilalui dengan penerapan langkah-langkah: penyusunan draf menjadi naskah
semifinal, penyusunan dan pengajuan proposal penelitian, menerima arahan
pembimbingan kemudian pengetikan/komputerisasi setelah melalui revisi,
penyusunan naskah final dan penggandaan laporan hasil penelitian hingga
pengujian laporan hasil penelitian (skripsi).
BAB IV ANALISIS DATA
4.1 Pengantar
Proses kreatif penulisan
sajak atau puisi tiap penyair berbeda-beda. Ada yang bersamadi untuk mencari ‘ilham’,
ada yang mencorat-coret di belakang meja sambil menyulut berbatang-batang
rokok, ada pula penyair yang dapat menciptakan puisi apabila ia sedang merasa
jatuh cinta pada seseorang. Logikanya ‘ilham’
tidak dapat ditunggu karena datangnya sewaktu-waktu, dan apabila sudah hadir
rasanya mendesak-desak untuk segera diekspresikan ibarat bayi yang akan lahir
dari rahim ibu. Apabila tidak langsung diekspresikan, penyairnya akan
kehilangan mood.
Puisi yang estetis pilihan kata-katanya ekspresif, sugestif, asosiatif, dan magis. Jalinan kata-katanya runtut, tidak ada satu kata pun yang mengganggu imajinasi penikmat/pembacanya. Hal ini juga berlaku bagi penyair yang dalam pentas kepenyairan Indonesia dikenal sebagai penyair Periode tahun 1960-1980, yakni D. Zawawi Imron yang disejajarkan seangkatan dengan penyair lain seperti Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M, Linus Suryadi Ag., Yudhistira Ardinugraha Massardi.
Sebagaimana yang menjadi kajian memahami lapis makna sebagai suatu totalitas yang dibentuk oleh elemen atau unsur intrinsik puisi atau sajak dengan menggunakan pendekatan seperti yang dianjurkan Aminuddin (2004) dengan menerapkan acuan berpikir yang dikembangkan oleh I.A. Richards, maka hasil analisis sajak “Ibu” karya D. Zawawi Imron dideskripsikan dengan membagi lapis makna meliputi (1) sense, (2) subject matter, (3) feeling, (4) tone, (5) total of meaning, dan (6) theme, serta intention.
Berdasarkan kajian teori yang dikemukakan pada bab sebelumnya, berikut ini diuraikan paparan data hasil analisis makna sajak “Ibu” dalam kumpulan sajak Madura, Akulah Darahmu! Karya D. Zawawi Imron.
4.2 Deskripsi Data
Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, berikut penulis kutip secara utuh sajak Ibu yang diciptakan tahun 1966 oleh penyair kelahiran Sumenep, Madura, D. Zawawi Imron.
IBU
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama
reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar
mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari
kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku disini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.
4.3 Hasil Analisis Data
Bagi penyair D. Zawawi Imron, ibu adalah segala-galanya. Yang menarik dari sajak tersebut yaitu bahwa dalam menyatakan cinta kepada sang ibu, D. Zawawi Imron menghadirkan suasana yang relatif khas Madura: kesadaran tentang kemarau hingga sumur-sumur kering, kesadaran merantau, kesadaran tentang kekayaan laut, dan kesadaran religius. Semua itu merupakan kesadaran masyarakat Madura lingkungan alam mereka, baik daratan maupun lautan, yang terstruktur dalam sistem sosial mereka. Demikianlah para petani menyadari tentang kemarau yang di Madura terjadi relatif panjang, rata-rata selama enam bulan per tahun, mereka juga menyadari tentang kekayaan laut sebagai anugerah Ilahi yang patut disyukuri, menyadari pula kemungkinan merantau lewat jalan itu-jaln laut. Dan mereka memiliki kesadaran religius karena kuatnya pengaruh Islam di sana. Tentu saja, kenyataan seperti itu bukanlah monopoli tradisi Madura. Namun, tidak bisa disangkal bahwa itulah realitas sosial-budaya masyarakat Madura.
Dalam puisi “Ibu” aku lirik jelas memposisikan diri sebagai anak dan memposisikan “engkau” sebagai ibu (…aku tahu/engkau ibu dan aku anakmu). Aku lirik juga memposisikan diri sebagai seorang anak yang merasa …hutangku padamu tak kuasa kubayar. Sementara itu, kalau aku merantau lalu datang musim kemarau, sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting, aku lirik memposisikan ibu sebagai satu-satunya …mataair airmata … yang tetap lancar mengalir. Aku lirik juga memposisikan ibu sebagai gua pertapaan dan orang … yang meletakkan aku di sini. Bila kasih ibu ibarat samudra, maka lautan teduh akan terasa sempit, dan itu berarti semua kandungan lautan – lokan-lokan, mutiara, kembang laut – adalah bagi aku lirik sendiri. Paling jauh, bagi aku-lirik, ibu adalah bidadari yang berselendang bianglala.
4.3.1 Analisis Struktur Batin (Struktur Abstrak) Sajak IBU Karya D. Zawawi Imron
Pendekatan secara analisis struktur batin (struktur abstrak) dari sajak Ibu karya D. Zawawi Imron, dilakukan melalui tahapan analisis meliputi: sense, subject matter, feeling, tone, total of meaning, dan intention. uraian hasil analisis selengkapnya dipaparkan berikut ini.
Sense, adalah gambaran umum. Setelah membaca secara keseluruhan sajak “Ibu”, bisa dijelaskan bila penyair menggambarkan kekaguman terhadap jasa seorang ibu, ibunya penyair sendiri. Kehidupan pengalaman masa kecilnya saat si penyair masih dalam naungan kasih sang ibundanya. Bagaimana masa kecil penyair nun di pelosok Madura dengan kondisi geografis serta peranan sosok ibu.
Subject matter, yakni topik/pokok pikiran dalam setiap bait atau setiap larik puisi. Sajak “Ibu” terdiri atas 6 bait atau 6 larik, karena setiap larik puisi membentuk bait. Pokok pikiran yang terkandung dalam setiap bait/larik jika disusun dalam suatu kalimat adalah berikut ini.
Larik pertama, mengandung pokok pikiran yang bila disalin dalam kalimat lain yaitu : pengakuan hanya satu sumber air yaitu airmata ibu yang senantiasa mengalir walaupun di musim kemarau dan di saat aku merantau.
Larik kedua mencerminkan kandungan pokok pikiran yaitu: perasaan takkan mampu membayar hutang terhadap jasa air susu ibu sebagai pengganti kenakalan masa kecilku.
Pada larik ketiga, terkandung pokok pikiran: kerelaan bahwa dari rahim ibu yang melahirkanku dengan penuh rasa kasih sayang di langit dan bumi Madura ini.
Larik keempat: pernyataan tentang ibuku adalah pahlawan pertamaku yang kasihnya ibarat samudra, tempatku mandi dan mengarungi mencari rejeki.
Larik kelima: pengenalanku kepada Tuhanku lewat ibuku yang dengan samudra kasih ibu selalu kuarungi dengan layar bahteraku.
Terakhir larik keenam terdapat pokok pikiran penyair yaitu: kekaguman terhadap ibu yang dimetaforakan sebagai sosok tercantik (bidadari) yang berakhlak (berselendang) mulia/indah (bianglala).
Feeling, yakni sikap pengarang terhadap kesatuan pokok-pokok pikiran. Dari hasil analisis, penyair mengungkapkan bahwa betapa keberadaan sosok ibu, ibu kandung bahkan ibu pertiwi, seorang ibu disimpulkan sebagai sosok wanita yang banyak berjasa, cantik diri dan cantik budi serta berhati mulia terhadap anaknya.
Tone, yakni sikap penyair terhadap pembaca, dalam sajak “Ibu” adalah berupa himbauan, mengingatkan kepada kita pembaca agar tidak melupakan ibu, agar tahu betapa banyaknya jasa ibu. Ibu kandung dan juga termasuk Ibu Pertiwi-tanah air negeri tercinta.
Total of meaning, atau totalitas makna yang berhasil disimpulkan dari sajak “Ibu” adalah mengingatkan kita terhadap jasa dan kasih sayang ibu kita. Dari rahimnyalah kita dilahirkan di dunia. Dengan ketabahan, kereguhan, ketegaran, dan terutama dengan kasih sayangnyalah kita mengenal kasih Tuhan, menikmati karunia rejeki kita dari Tuhan lewat jasa kepahlawanan ibu.
Intention, amanat dan pesan moral (message) yang disampaikan penyair adalah ajakan berterima kasih kepada sosok keberadaan ibu, dan bersyukur kepada Tuhan. Hal ini sebagaimana diajarkan oleh Allah kepada hambaNya, bahwa salah satu bukti mengungkapkan rasa syukur kepada Allah adalah dengan berterima kasih kepada sesama makhluknya, terutama manusia. Dan manusia terdekat yang paling awal berjasa adalah ibu.
4.3.2
Analisis Struktur Lahir (Struktur Fisik) Sajak IBU Karya D. Zawawi Imron
Adapun pendekatan analisis struktur lahir (struktur fisik) sajak “Ibu” karya D. Zawawi Imron dilakukan dengan penelaahan pada: rima, diksi, majas, imaji, dan tipografi. Uaraian hasil analisis dikemukakan berikut ini.
1. Rima, adalah persamaan bunyi yang terdapat pada larik-larik sajak. Pada sajak “Ibu” tampak terutama berupa dominasi rima akhir, walau juga terdapat rima tengah. Jika struktur fisik puisi tersebut bisa dikatagorikan terdiri dari 6 bait, maka bait ke 1 memiliki 3 baris, bait ke 2 ada 4 baris, lalu bait 3 berjumlah 5 baris, bait ke 4 memiliki jumlah terbanyak yakni 9, bait ke 5 ada 2, dan terakhir bait ke 6 ada 4 baris. Untuk mengetahui penggunaan rima pada sajak Ibu, cetak tebal dan garis bawah sebagai penanda bukti penggunaan rima. Kita simak mulai dari bait pertama, berikut ini kutipannya:
kalau
aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur
bersama reranting
hanya mataair
airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
Baris pertama mutlak menggunakan bunyi vokal /u/ sebagai tengah dan rima akhir. Dan pada baris kedua, terasa adanya persamaan bunyi konsonan yaitu bunyi likuida /r/ dan bunyi sengau /ng/ sebagai rima tengah dan rima akhir yang disebut bunyi asonansi. Lapis bunyi (sound stratum) yang ditimbulkan dari orkestra bunyi tersebut diklasifikasikan sebagai bunyi efoni (euphony) yaitu menuansakan perasaan mesra, indah, kekaguman, syukur, dan syahdu. Orkestrasi bunyi yang merdu ini menggambarkan perasan mesra, kasih sayang, dan cinta. Kemudian kita lihat kutipan bait kedua:
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran
hutangku padamu tak kuasa kubayar
Pada bait kedua ini adanya dominasi persamaan bunyi vokal /u/ sebagai rima tengah dan rima akhir yang disebut bunyi asonansi, dan persamaan bunyi konsonan /n/ pada baris ke 3 dan ke 4 sehingga termasuk rima akhir bersifat aliterasi. Suasana yang ditimbulkan masih menuansakan perasaan mesra dan syahdu, sehingga termasuk bunyi efoni (euphony). Kemudian pada bait ketiga, kutipannya yaitu:
Ibu
adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang
meletakkan aku disini
saat bunga kembang
menyerbak bau sayang
Ibu
menunjuk ke langit, kemudian
ke bumi
aku
mengangguk meskipun kurang mengerti
Bait ketiga di atas terdiri 5 baris yang menampilkan kombinasi penataan bunyi-bunyi vokal (asonansi) sebagai rima tengah dan rima akhir yang didominasi vokal: /u/ bentuk rima akhir bersifat aliterasi dengan konsonan /k/ dan bunyi sengau yaitu /ng/. Nuansa yang ditimbulkan termasuk bunyi efoni (euphony) yaitu gambaran perasaan kasih yang amat indah.. Selanjutnya bait keempat:
bila
kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi,
mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar,
menebar pukat dan melempar
sauh
lokan-lokan,
mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian
lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu,
yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku
tahu
engkau
ibu dan aku anakmu
Pada bait keempat terdiri dari 9 baris, setiap akhir baris tampak sebagai rima akhir yang bersifat asonansi dengan bunyi vokal:/u/a/i/,.Lalu persamaan bunyi konsonan /n/, serta bunyi aspiran /h/ kesemuanya sebagai rima tengah dan rima akhir yang menuansakan suasana efoni (euphony) yaitu perasaan kasih, bahagia, dan kenangan indah masa kecil.
Adapun kutipan pada bait kelima yang terdiri dari 2 baris sebagaimana berikut ini.
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan
yang ibu tunjukkan telah
kukenal
Pada bait ini peranan penggunaan bunyi konsonan /n/ sebagai rima tengah dan bunyi liquida /l/ sebagai rima akhir, terasa menuansakan orkestrasi paduan bunyi yang merdu, gambaran bunyi efoni (euphony) yang menyiratkan ungkapan kasih dan rasa syukur kepada Tuhan.
Kemudian yang terakhir yaitu kutipan bait keenam ada 4 baris, adalah berikiut ini.
Ibulah itu,
bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku
menulis langit biru
dengan sajakku.
Pada bait terakhir (keenam) ini terasa paduan bunyi vokal /u/ amat mendominasi, termasuk bersifat asonansi yang menuansakan orkestrasi kemerduan bunyi efoni (euphony) sehingga menyiratkan suatu kepuasan, kebanggaan, sanjungan kebahagiaan.
Diksi, yaitu pilihan kata sebagai simbol, hal ini karena bukan makna yang sebenarnya. Pada sajak “Ibu” terdapat diksi pada kata gua pertapaanku sebagai simbol makna kehidupan di dalam kandungan. Kemudian kata pahlawan adalah sebagai simbol seseorang yang telah berjasa besar dan telah rela berkorban. Kata bidadari juga menyiratkan suatu simbol kecantikan lahiriah maupun keelokan akhlak/budi pekerti. Dan kata bianglala adalah pelangi sebagai suatu simbol keindahan.
Majas, adalah ungkapan gaya dan rasa bahasa yang menunjukkan kepiawaian penyair. Pada sajak “Ibu” pengarang menggunakan majas perbandingan yang disebut metafor.
Metafor berarti makna lain bukan makna sebenarnya, misalnya: bidadari yang berselendang bianglala, maka makna yang tersirat dari yang tersurat oleh metafor pengertian ini adalah berarti semacam kekaguman terhadap sosok cantik yang mengenakan pakaian serba indah berwarna-warni (pelangi). Bidadari adalah gambaran makhluk wanita yang amat cantik dan suci, sedangkan bianglala adalah pelangi yaitu simbol keindahan yang ditampakkan berupa aneka warna, hal ini menyiratkan makna bahwa kecantikan akan kesucian jasa perjuangan ibu (bagi aku sajak) menampakan kesan penuh keindahan (budi pekerti) dalam segala warna gerak aktivitas kehidupan.
Gua pertapaanku adalah metafor yang menyiratkan makna tempat aku lirik masih dalam pertapaan menanti giliran terlahir ke mayapada ini.
Imaji (pencitraan) yakni pembayangan kembali (reproduksi mental suatu ingatan) terhadap pengalaman sensasional (perasaan) dan pengalaman persepsional (fikiran). Pencitraan pada sajak “Ibu” berupa imaji visual yaitu pembayangan kembali pengalaman sensasional-perseptual terhadap gambaran yang nampak, terdapat pada: sumur-sumur, daunan, reranting, mataair, airmata, ibu, mayang siwalan, bunga, langit, bumi, samudra, lautan, lumut, diri, pukat, sauh, lokan-lokan, mutiara, kembang laut, bidadari, bianglala. Kemudian imaji gerakan yaitu pembayangan kembali pengalaman sensasional-perseptual yang berhubungan dengan gerakan, terdapat pada: merantau, mengalir, ronta, meletakkan, menunjuk, mengangguk, mandi, mencuci, berlayar, menebar, melempar, ditanya, kusebut, tunjukkan, berselendang, dan menulis. Imaji hawa (panas/dingin) yakni membayangkan secara emosional-perseptual terhadap hawa (panas atau dingin) terdapat pada: musim kemarau. Lalu imaji pembauan yaitu pembayangan kembali pengalaman sensasional-perseptual yang berhubungan dengan bau/aroma, hal ini terdapat pada kata: bunga kembang, dan menyerbak.
Tipografi, selain untuk menampilkan aspek artistik visual juga untuk memberikan nuansa makna dan suasana tertentu. Dengan memperhatikan tampilan artistika penataan baris dan bait demi bait pada sajak Ibu, secara tipografi tampak pada sisi kiri memiliki struktur bentuk yang rata, hal ini mengesankan suatu tampilan karakter stabil, lurus, teguh, mantab, dan meyakinkan. Sedangkan pada sisi sebelah kanan menuansakan gambaran yang secara psikologis bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang tidak stabil, tidak konstan, kadang pendek dan kadang panjang. Semacam gambaran perjalanan hidup penuh beragam permasalahan yang kadang bisa dituntaskan dengan singkat, tetapi juga kadang-kadang problematika tersebut harus diatasi dalam kurun yang panjang. Struktur ini juga mencerminkan suasana kehidupan yang variatif.
4.4 Ide Dasar yang Melandasi Tema dan Amanat Penyair dalam Sajak IBU Karya D. Zawawi Imron
Analisis interpretasi berarti menguraikan melalui ragam penafsiran yang dalam hal ini setiap karya seni bersifat multiinterpretable yakni setiap karya seni mengundang berbagai tanggapan yang beraneka. Keberagaman penafsiran menunjukkan apresiasi (kajian telaah penilaian) yang bervariatif dan semarak, semakin luas khasanah sastra semakin sehat pula kehidupan budaya suatu bangsa.
Untuk mengetahui ide dasar yang melandasi tema dan amanat penyair dalam sajak Ibu karya D. Zawawi Imron, berikut ini akan diuraikan interpretasi sajak Ibu melalui pendekatan analisis struktural dan semiotik. Hal ini berlandaskan pada pendapat bahwa sajak sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat, maka untuk memudahkan pemahaman perlu diberikan parafrase yang dimaksudkan untuk memberi ancar-ancar makna sajak. Hasil pemarafrasean tentunya bukanlah makna mutlak, melainkan sebagai salah satu tafsiran mengingat bahwa sajak itu bersifat polynterpretable atau tafsir ganda. (Pradopo, 2005:127-128)
Sajak ini merupakan monolog si aku kepada ibunya (ibu kandungnya dan juga Ibu Pertiwi, tanah kelahirannya, Madura). Parafrasenya sebagai berikut.
Wahai ibuku, kalau aku (pergi) merantau lalu datang(lah) musim kemarau, (di mana kebanyakan) sumur-sumur (menjadi) kering, (de)daunan pun (ber)gugur(an) bersama reranting, hanya (satu) mataair (yaitu) airmatamu (wahai) ibi, yang tetap (senantiasa) lancar mengalir.
Bila aku (pergi) merantau, (sehingga aku teringat) sedap (rasa) kopyor susumu dan ronta kenakalanku, di hati (teringat) (buah) mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan(ku), lantaran hutangku padamu (ibu) tak kuasa (tak sanggup) kubayar.
(Wahai) ibu (engkaulah) gua pertapaanku (ketika masih dalam kandunganmu), dan ibulah yang meletakkan (melahirkan) aku di sini, (di) saat bunga (sedang) (ber)kembang menyemerbak(kan) bau (rasa kasih) sayang(mu)(kepadaku), ibu menunjuk ke (arah) langit, kemudian ke (arah) bumi, aku (hanya) mengangguk meskipun (di dalam hatiku) kurang mengerti (apa maksud arah petunjuk ibu).
(Duhai ibu) bila (cinta) kasihmu ibarat (seluas) samudra, (rasanya masih) sempit lautan (itu) oleh (ke)teduh(an kasih sayangmu padaku), tempatku mandi (kasih sayangmu-mencari nafkah hidup), mencuci lumut (licin berbahaya membersihkan kepenatan hidup) pada diri(ku), (bumi kelahiranku) tempatku berlayar (mengarungi kehidupan), menebar pukat (jala penangkap ikan di lautan) dan melempar sauh (jangkar), lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua (engkau berikan) bagiku, (sehingga saat aku sekolah) kalau ikut ujian lalu ditanya (oleh guru) tentang (nama) pahlawan (yang paling berjasa dalam hidupku, (pasti namamu ibi, yang aku sebut paling dahulu, lantaran aku (paling) tahu, (bahwa nama pahlawan yang berjasa itu) engkau ibu dan (lantaran) aku (adalah) anakmu.
Bila aku (pergi merantau) berlayar (dengan perahu) lalu datang(lah) angin sakal(yang kencang), Tuhan yang ibu tunjukkan (kepadaku bagaimana Maha Pengasih dan Maha Penyayang) (ternyata) telah (a)ku kenal.
(Siapa yang paling kukagumi) ibulah itu, bidadari (cantik jelita lahir batin) yang berselendang (mengenakan) bianglala (pelangi keindahan budi), sesekali (pernah) datang (ke)padaku (perasaan itu), menyuruhku (berbuat sesuatu seperti) menulis (jasa ibu yang bagaikan luasnya) langit (kasih yang tak berbatas tepi karena luas) biru (warna keindahan hidup), dengan sajakku.
Berdasarkan pendekatan analisis struktural dan semiotik sajak Ibu di atas, dapatlah dideskripsikan ide dasar yang melandasi tema dan amanat penyair yaitu :
Ide dasar sebagai landasan tema sajak adalah kekaguman, rasa syukur, ungkapan haru atas jasa seorang ibu yang tak ternilai dan tak mungkin ada yang bisa menandinginya kecuali kasih sayang Tuhan. Dalam konteks makna ‘Ibu Pertiwi’ tanah Madura, tanah tumpah darah si aku (penyair), tanah kelahiran dengan segala kondisi dan kekayaan alamnya yang telah banyak memberi kehidupan baik dari alam laut dan buminya, laut dan bumi Madura. Dengan kata lain, tema sajak Ibu karya D. Zawawi Imron adalah ungkapan rasa syukur terhadap ‘ibu’.
Amanat penyair yang disampaikan dalam sajak Ibu adalah ajakan menyukuri nikmat karunia Tuhan lewat sosok dan peranan seorang ibu, yang kasih sayangnya diibaratkan sepanjang jalan bila dibanding bakti anak yang hanya sepanjang galah.
Sajak Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu! karya D. Zawawi Imron termasuk jenis sajak/puisi lirik. Puisi Lirik, adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala endapan pengalaman, sikap, serta suasana batin yang melingkupinya.
BAB V P E N U T U P
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis makna sajak “Ibu” karya D. Zawawi Imron yang terangkum dalam kumpulan sajak Madura, Akulah Darahmu!, yang diuraikan melalui pendekatan Analisis Struktural dan Semiotik, beberapa temuan hasil analisis bisa disimpulkan dalam paparan berikut ini.
Dengan sudut penceritaan “akuan” , penyair memaparkan rasa kekagumannya, rasa keharuannya, rasa ketakberdayaannya membalas kasih sayang sosok ibu. Ibu yang dalam hal ini bisa dimaknai dalam arti sempit yaitu ibu kandung, juga bisa dimaknai dalam arti luas sebagai ibu pertiwi, tanah tumpah darah, yang bagi si penyair: Madura adalah tanah tumpah darah tercinta. Madura dengan segala latar geografis, latar sosial budayanya, dan kekayaan alamnya, banyak memberi andil dalam pembentukan jiwa dan kepribadian si penyair.
Melalui pendekatan analisis struktural terhadap unsur-unsur pembentuk sajak, serta analisis semiotik sajak Ibu karya D. Zawawi Imron, dapat dideskripsikan bahwa penyair mengungkapkan rasa haru bercampur rasa syukur dan kekagumannya terhadap sang ibu yang dianalogkan sebagai sesosok bidadari yang berselendang bianglala, sesosok perempuan cantik yang dikirim dari surga turun ke dunia dengan berhiaskan keindahan budi pekerti.
Sajak Ibu dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu! karya D. Zawawi Imron termasuk jenis sajak/puisi lirik. Puisi Lirik, adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala endapan pengalaman, sikap, serta suasana batin yang melingkupinya. Khasanah sastra modern di Indonesia memang paling banyak diwarnai jenis puisi ini.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian terhadap makna sajak Ibu karya D. Zawawi Imron, serta kesimpulan yang dipaparkan di atas, beberapa saran berikut ini diharapkan memberi kontribusi terutama pada pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia di sekolah-sekolah.
Kepada Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Diharapkan agar hasil penelitian ini bisa memperluas wawasan apresiasi sajak atau puisi, terutama sebagai masukan dalam pembelajaran apresiasi sajak atau puisi melalui berbagai pendekatan dalam menganalisis suatu sajak atau puisi.
Kepada Siswa
Melalui pembelajaran apresiasi sajak atau puisi, wawasan pengetahun akan semakin luas bahkan nilai-nilai pengalaman hidup dan filosofi yang terkandung di dalamnya akan mengokohkan kepribadian. Oleh sebab itu, hendaknya siswa semakin menggemari karya sastra terutama sajak atau puisi.
Kepada Peneliti Selanjutnya
Terbuka peluang untuk meneliti unsur intrinsik dengan penekanan pendekatan yang lain, karena bagaimanapun mengapresiasi sajak atau puisi itu bersifat multiinterpretable membutuhkan pemahaman, penghayatan, dan pendalaman akan hakekat makna hidup dan kehidupan.
RUJUKAN PUSTAKA
Aminuddin.
1990. Sekitar Masalah Sastra. Beberapa
Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh (YAA)
Malang.
-----------------2004.
Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Depdiknas.
2005. Materi Pelatihan Terintegrasi.
Bahasa dan Sastra Indonesia. Pengembangan Kemampuan Menulis Sastra.
Jakarta: Direktorat PLP Dirjendikdasmen Depdiknas.
IKIP
Malang. 1996. Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian.
Malang: Satgas OPP Bagian Proyek OPF. IKIP Malang.
Imron, D.
Zawawi. 1999. Madura, Akulah Darahmu.
Jakarta: Grasindo.
Keraf, Gorys. 2001. Komposisi. Flores: Nusa Indah
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2003. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rani,
Supratman Abdul, dkk. 2004. Intisari
Sastra Indonesia untuk SLTP. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sumardi,
dkk. 1997. Pedoman Pengajaran Apresiasi
Puisi SLTP & SLTA untuk Guru dan Siswa. Jakarta: PT Balai Pustaka.
Tjahjono,
Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia
Pengantar Teori Dan Apresiasi. Ende Flores: Nusa Indah.
Waluyo,
Herman J. 2005. Apresiasi Puisi. Panduan
Untuk Pelajar Dan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
ABSTRAK
-------------------.
Analisis Makna Sajak IBU Dalam Kumpulan
Sajak Madura, Akulah Darahmu! Karya D. Zawawi Imron.
Kata-kata Kunci : analisis, makna, sajak
Kegiatan apresiasi sastra
termasuk sajak atau puisi, harus diawali dari sikap ketertarikan terhadap
sastra sebagai suatu karya ciptaan pengarang yang di dalamnya terkandung
beragam nilai-nilai kehidupan. Cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai
keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberi kepuasan batin pembacanya,
juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi
batin, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun
berbagai macam problema kehidupan. Dalam pelaksanaan apresiasi sastra termasuk
sajak atau puisi, bisa dimulai dari satu pendekatan di antara berbagai
pendekatan yang dianjurkan. Pendekatan yang menawarkan keleluasaan sesuai
tujuan suatu penelitian adalah melalui pendekatan analitis, karena pendekatan
ini tidak harus mengkaji keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta
sastra.
Tujuan yang akan dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang: (1) struktur
lahir (struktur fisik) atau lapis bentuk sajak/puisi Ibu dalam Kumpulan Sajak
Madura, Akulah Darahmu! Karya D. Zawawi Imron., (2) struktur batin (struktur
abstrak) atau lapis makna sajak/puisi Ibu
dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah
Darahmu Karya D. Zawawi Imron, dan (3) ide dasar yang melandasi tema dan
amanat penyair berdasarkan totalitas makna sajak/puisi dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu Karya D. Zawawi
Imron.
Sumber data penelitian ini
adalah Sajak IBU dalam Kumpulan Sajak
Madura, Akulah Darahmu Karya D.
Zawawi Imron, 1999. Dan wujud datanya terdapat berupa Sajak pada buku Kumpulan
Sajak tersebut.
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
melalui studi dokumentasi, yaitu penelitian yang mendeskripsikan hasil analisis
makna sajak IBU dalam Kumpulan Sajak Madura, Akulah Darahmu, 1999, Karya D.
Zawawi Imron.
Berdasarkan analisis makna
sajak Ibu dapat dipaparkan bahwa
sajak tersebut bisa dipahami melalui pendekatan analisis struktur abstrak dan
struktur kongkritnya. Sesuai tujuan penelitian maka sajak Ibu dapat dideskripsikan bahwa ide dasar yang melandasi tema dan
amanat penyair setelah memahami totalitas maknanya adalah ungkapan seorang anak
(aku lirik) atas rasa kekaguman, keharuan, rasa syukur, ketidakmampuan membalas
budi terhadap jasa ibu.
Saran yang dianjurkan
berkaitan hasil penelitian ini adalah agar pembelajaran sastra terutama sajak
atau puisi dapat diajarkan dengan sebaik-baiknya kepada siswa dalam
menggairahkan kegiatan apresiasi sastra Indonesia, di samping hasil karya
sastra yang lain.
Penulis
ada makna puisi ibu karya d. zawawi imron ngga ?
BalasHapuskok panjang bgt isinya...