NILAI-NILAI MORAL
DALAM LEGENDA ASAL MULA BANYUWANGI
KARYA TIRA IKRANEGARA
Oleh :
Sugeng
Rianto
ABSTRAK
-------------------.
2007. Nilai-Nilai Moral Dalam Legenda
Asal Mula Banyuwangi Karya Tira Ikranegara.
Kata-kata Kunci : Nilai,
moral, legenda.
Salah satu
bentuk dongeng yang amat digemari anak adalah dongeng berupa legenda yang
diangkat dari cerita rakyat sebagai kekayaan budaya bangsa warisan para
pendahulu kita yang di dalamnya terkandung suri teladan, nilai falsafah, nilai
pendidikan, nilai moral, nilai etika, dan masih banyak lagi hal-hal
positif yang amat penting ditanamkan ke
dalam jiwa anak semenjak usia dini. Legenda yang disampaikan kepada
anak-anak biasanya berupa cerita pilihan
yang amat berguna bagi pembentukan budi
pekerti anak serta mampu menimbulkan motivasi bagi anak untuk belajar tentang
makna kehidupan. Melalui cerita legenda, anak belajar tentang makna suatu
pengabdian, pengorbanan, kesetiaan, dan sejenisnya, yang pada gilirannya akan
menumbuhkan rasa saling menghormati, yang nantinya sebagai bekal untuk bersatu padu dalam ikatan
kebangsaan yang kuat yaitu sebagai bangsa Indonesia.
Penelitian
ini berjudul Nilai-Nilai Moral Dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi Karya Tira
Ikranegara. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
memperoleh deskripsi tentang: (1). bentuk kejujuran antar manusia dalam legenda
Asal Mula Banyuwangi, (2) bentuk
kebersatuan hidup dalam legenda Asal Mula
Banyuwangi, dan (3) bentuk kesetiaan dan cinta kasih dalam legenda Asal Mula Banyuwangi. Sehingga yang
menjadi sumber data sebagai kajian tekstual penelitian ini adalah buku seri
cerita rakyat berupa Legenda Asal Mula
Banyuwangi Karya Tira Ikranegara.
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang
dilakukan melalui studi dokumentasi, yaitu penelitian yang mendeskripsikan
nilai-nilai moral yang tercermin dalam legenda asal Mula Banyuwangi karya Tira
Ikranegara.
Berdasarkan analisis data
penelitian dapatlah dideskripsikan bahwa nilai moral yang berkaitan dengan
kejujuran, kebersatuan dalam hidup, serta kesetiaan dan cinta kasih tercermin
pada sikap dan perilaku Dewi Surati yang menjadi tokoh utama dalam legenda ini
yang tidak mau berkhianat kepada suaminya yang sebenarnya adalah putra raja
yang menghancurkan ayahandanya. Meskipun fitnah terhadap dirinya bermula justru
dari kakaknya sendiri yang masih berupaya membalas dendam. Bahkan wujud
kesetiaan dan cinta kasih Dewi Surati terhadap sang suami yang termakan
hasutan, dibuktikan dengan kerelaan pengorbanannya sendiri sehingga air sungai
yang menelan dirinya berbau wangi. Banyuwangi.
Saran yang dianjurkan
berkaitan hasil penelitian ini adalah agar pembelajaran sastra melalui kajian
tekstual terhadap cerita rakyat seperti dongeng dalam bentuk legenda dapat
diajarkan dengan sebaik-baiknya kepada siswa dalam menggairahkan kegiatan
apresiasi sastra Indonesia, di samping bentuk-bentuk karya sastra yang lain.
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Cerita rakyat Nusantara adalah
hasil budaya bangsa yang tak ternilai harganya. Di dalamnya terkandung suri
teladan, nilai falsafah, nilai pendidikan, nilai moral, nilai etika, dan masih
banyak lagi hal-hal positif yang amat
penting ditanamkan ke dalam jiwa anak semenjak usia dini. Salah satu bentuk
dongeng yang amat digemari anak adalah dongeng yang diangkat dari cerita
rakyat.
Cerita rakyat yang disampaikan
kepada anak-anak dalam bentuk mendongeng, biasanya berupa cerita pilihan yang
amat berguna bagi pembentukan budi
pekerti anak serta mampu menimbulkan motivasi bagi anak untuk belajar tentang
makna kehidupan. Melalui dongeng yang diangkat dari cerita rakyat, anak belajar
tentang makna suatu pengabdian, pengorbanan, kesetiaan, perjuangan,
kepahlawanan; anak bisa belajar membedakan perbuatan yang baik dan yang
buruk/jahat, sifat jujur dan bohong, watak setia dan khianat, semangat yang
gigih/ulet dan yang malas, pribadi yang pandai dan yang bodoh/pandir, yang
berbakti dan yang durhaka, pemimpin yang adil bijaksana dan yang pemimpin yang
tamak; anak diajarkan tentang rasa setia kawan, yang pada gilirannya akan
menumbuhkan rasa saling menghormati, dan rasa saling menghormati itulah yang
nantinya menjadi bekal untuk bersatu padu dalam ikatan kebangsaan yang kuat
yaitu sebagai bangsa Indonesia.
Nusantara yang kaya raya akan
budaya, banyak menyimpan ribuan cerita rakyat yang menarik untuk diketahui,
diajarkan, dan diteladani. Kesemuanya terhampar bak ratna mutu manikam yang menjadi aset kebanggaan setiap daerah di
Indonesia. Wujud kekayaan bangsa Indonesia semenjak dahulu kala di antaranya
adalah dongeng yang tumbuh berkembang sebagai cerita rakyat, yang pada awalnya
sebagai sastra tutur/lisan dan mengangkat idiom budaya daerah, kekayaan budaya
Indonesia.
Seiring perkembangan teknologi
yang semakin canggih di era globalisasi dewasa ini, banyak orang tua yang
karena kesibukannya tidak sempat mendongengkan cerita kepada putra-putrinya.
Nilai-nilai warisan leluhur sebagai kebanggaan budaya yang adiluhung milik
bangsa Indonesia dikhawatirkan akan
semakin tergeser oleh budaya mancanegara yang kini kian merebak digemari oleh
hampir mayoritas anak-anak Indonesia. Anak-anak lebih menggemari dongeng dan
cerita fantasi seperti Putri Cinderella, Putri Salju, Pinokio, Spiderman,
Mickey Mouse, Popeye, Sin Chan dan lain-lain yang kesemuanya berasal dari
impor, daripada legenda seperti Joko Tarub, Ande-Ande Lumut, Hikayat Si Kancil,
Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan sebagainya. Ketertinggalan kita dalam cara
pengemasan produk budaya seperti film animasi (film kartun) dan film fantasi
lainnya untuk mengangkat harkat budaya milik bangsa sendiri, hendaknya tidak
menyurutkan langkah kita untuk tetap melestarikan sastra lisan yang berupa
mendongeng.
Terpanggil oleh adanya fenomena
budaya seperti tersebut di atas, peneliti bertekad mengangkat topik penelitian
yang mengambil judul Nilai-nilai Moral Dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi KaryaTira Ikranegara.
1.2 Masalah
1.2.1
Ruang Lingkup
Masalah
----------ada di file lain---komplit---dan
sudah dibuat skripsinya
1.2.2
Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang bisa dikaji dalam
penelitian tentang karya sastra lama yakni dongeng yang berupa legenda, maka
penulis membatasi pada permasalahan sebagai berikut: (1) Kejujuran antar manusia, (2)
Kebersatuan dalam hidup, (3) Kesetiaan dan cinta kasih.
1.2.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah, rumusan masalah
dalam penelitian ini meliputi :
(1)
Bagaimanakah bentuk kejujuran antar manusia dalam
legenda Asal Mula Banyuwangi dari
Jawa Timur ini?
(2)
Bagaimanakah bentuk kebersatuan hidup dalam legenda Asal Mula Banyuwangi dari Jawa Timur
ini?
(3)
Bagaimanakah bentuk kesetiaan dan cinta kasih dalam
legenda Asal Mula Banyuwangi dari
Jawa Timur ini?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan secara objektif tentang nilai-nilai moral
dalam dongeng yang berupa legenda Asal Mula Banyuwangi susunan Tira Ikranegara.
1.3.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini
adalah deskripsi secara objektif tentang nilai-nilai moral dalam legenda Asal
Mula Banyuwangi, yang meliputi:
(1) Kejujuran antar manusia
yang terdapat dalam legenda Asal Mula
Banyuwangi dari Jawa Timur karya Tira Ikranegara.
(2) Kebersatuan dalam
hidup yang terdapat dalam legenda Asal
Mula Banyuwangi dari Jawa Timur karya Tira Ikranegara.
(3) Kesetiaan dan cinta
kasih yang terdapat dalam legenda Asal
Mula Banyuwangi dari Jawa Timur karya Tira Ikranegara.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi
Peneliti
a)
Sebagai bekal pengalaman di bidang penelitian
yang berhubungan dengan analisis nilai-nilai moral dalam legenda.
b)
Mengetahui gambaran secara obyektif tentang
nilai-nilai moral yang terkandung dalam legenda Asal Mula Banyuwangi susunanTira Ikranegara.
2. Bagi Penelitian
Selanjutnya
a) Sebagai
dasar penelitian lebih lanjut di masa mendatang.
b)
Sebagai bahan yang perlu dikaji kebenarannya
tentang teori yang disusun oleh peneliti agar sesuai dengan hasil penelitian
yang diharapkan.
3. Bagi
Pengajaran Bahasa Indonesia
Dengan
hasil penelitian ini agar dapat meningkatkan kemampuan apresiasi siswa dalam
menganalisis nilai-nilai moral dalam suatu karya sastra lama yaitu dongeng
yang berupa legenda.
1.6 Asumsi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan bertolak dari
asumsi sebagai berikut:
(1)
Karya sastra termasuk prosa lama berupa dongeng
dalam bentuk legenda merupakan sarana yang berfungsi menanamkan nilai-nilai
kehidupan manusia termasuk nilai-nilai moral.
(2)
Nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra
termasuk sebagai konsumsi cerita anak-anak, oleh pengarang dilakukan dengan
cara langsung berupa ajaran yang secara implisit dapat dipahami berdasarkan
sikap hidup pikiran dan perasaan tokoh baik dalam bentuk monolog, dialog,
maupun deskripsi peristiwa dalam cerita.
1.7 Penegasan Istilah
Beberapa
istilah ditegaskan dalam penelitian ini dengan maksud agar diperoleh kesamaan
persepsi terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam judul penelitian.
(1)
Nilai, adalah sesuatu penghargaan atas kualitas
terhadap sesuatu yang dapat dijadikan penentu seseorang dalam bertingkah laku.
Nilai ini bersifat abstrak.
(2)
Nilai moral, adalah suatu nilai yang mendasari
ajaran tentang baik buruk yang diterima umum berkaitan dengan perbuatan, sikap,
kewajiban, budi pekerti, akhlak, susila, adat dalam pengembangan hidup dengan
cara dan tujuan yang benar.
(3)
Legenda adalah jenis dongeng yang isinya
berhubungan dengan kejadian-kejadian alam atau terjadi di suatu tempat, dengan
dibumbui khayalan, tetapi dibuat seakan-akan benar-benar terjadi.
(4)
Cerita adalah tuturan baik lisan atau tulisan yang
membentangkan bagaimana terjadinya suatu peristiwa.
(5)
Mendeskripsikan adalah memaparkan atau menggambarkan
secara verbal dengan uraian yang jelas dan objektif.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Dongeng
Dongeng adalah cerita yang bersifat khayal
(Depdiknas, 2005: 30). Dongeng menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI)
(Badudu, 1996:355) adalah cerita yang dikarang-karang saja karena banyak hal di
dalamnya yang tidak masuk akal atau tudak dapat ditemukan dalam kenyataan hidup
sehari-hari misal orang yang bisa terbang, dapat menghilang, dapatmenjelma ke
dalam tubuh yang lain, binatang yang dapat berkata-kata.
Mendongeng
merupakan kegiatan menceritakan atau menuturkan dongeng, yaitu menceritakan
dongeng secara lisan, baik berdasarkan teks dongeng atau tidak. (Depdiknas,
2005: 29)
Dongeng
(termasuk cerita anak atau cernak) sebagai salah satu bentuk karya sastra
termasuk dalam katagori sastra klasik yang bisa disebut sebagai sastra lama
atau sastra tradisional, adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang
sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra. Dalam ukuran waktu,
sastra klasik (Nusantara) dibatasi sebagai sastra yang berkembang sebelum tahun
1920-an, yakni rentang waktu sebelum lahirnya tren sastra Angkatan Balai
Pustaka (Abdul Rani, 2004:21).
Dongeng
bisa diartikan sebagai ceritera khayalan yang mengisahkan kejadian luar biasa.
Ceritera yang dikisahkan biasanya tentang dewa, peri, putri cantik, pangeran
yang gagah dan tampan, resi sakti, orang miskin yang mendadak kaya raya, orang
menderita yang tiba-tiba beruntung, binatang yang dapat berbicara bagaikan
manusia, dan sebagainya. Bentuk dongeng bermacam-macam, di antaranya mite,
sage, fabel, legenda, cerita pelipur lara, dan cerita perumpamaan (Abdul Rani,
2004:36).
2.2 Macam-macam Dongeng
Dongeng menurut sejarah asal
muasal cerita dalam sastra Indonesia meliputi beberapa jenis (Effendy,
1984:51-54) antara lain :
1.
Mite, menurut pengertian Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Badudu, 1996:903) adalah hikayat tentang dewa-dewa seperti Hikayat Mahabharata, Hikayat Sang Boma. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1995:660) adalah cerita yang
mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita
yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib,
dan umumnya ditokohi oleh dewa. Mite merupakan dongeng yang isinya berhubungan
dengan kehidupan dewa-dewi, roh halus, dan sebagainya yang timbulnya berkaitan
dengan kepercayaan animisme dan dinamisme di kalangan masyarakat lama. Contoh :
Cerita tentang Nyi Roro Kidul, Harimau Jadi-jadian, dan sebagainya.
2.
Legenda,
menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, 1996:788) adalah cerita
atau dongeng yang dengan dicari-cari dihubungkan dengan kenyataan di alam;
misal Gunung Tangkubanperahu
(dihubungkan dengan dongeng Sangkuriang dan Dayang Sumbi). Contoh lain misalnya
: Asal-muasal Surabaya, Asal Usul Danau Toba, dan lain-lain.
Legenda termasuk jenis dongeng yang isinya
berhubungan dengan kejadian-kejadian alam atau terjadi di suatu tempat, dengan
dibumbui khayalan, tetapi dibuat seakan-akan benar-benar terjadi. Misalnya :
Malin Kundang, Batu Menangis, Tangkuban Perahu, Asal Mula Surabaya, dan
sebagainya.
3.
Fabel, menurut pengertian Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Badudu, 1996:402) adalah cerita yang tokoh-tokoh pelakunya adalah
binatang yang berpikir dan bertindak sebagaimana manusia dan menggambarkan
watak serta budi manusia.
Fabel merupakan bentuk dongeng yang isinya
berhubungan dengan dunia binatang. Kehidupan binatang diceritakan bisa
berbicara, berbuat, dan bertingkah laku seperti manusia. Isi fabel pada umumnya
bersifat didaktis, karena memberi pelajaran moral dan nilai kesusilaan serta
perilaku yang baik kepada manusia. Termasuk dalam fabel adalah cerita si Kancil
(di Indonesia), Serigala (di Belanda), Kelinci (di Campa). Oleh sebab itu,
fabel merupakan dongeng yang universal.
4. Sage, adalah dongeng yang isinya mempunyai unsur sejarah. Tokoh-tokoh
ceritanya pernah disebut-sebut dalam sejarah, namun unsur khayalnya lebih
ditonjolkan daripada kenyataannya. Contoh : Joko Tingkir, Ciung Wanara, Hang
Tuah, dan sebagainya.
4.
Parabel atau Cerita Ibarat adalah dongeng yang
isinya bersifat mendidik, diceritakan tokoh-tokohnya yang pantas diteladani
maupun tokoh-tokoh yang tidak boleh ditiru. Cerita disusun untuk menyampaikan
ajaran agama, menanamkan nilai moral dan kebenaran. Contoh : Cerita Damarwulan,
Cerita Malin Kundang, Sangkuriang, induk Padi, dan sebagainya.
2.3 Pengertian Prosa Fiksi
Prosa
fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu
dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang
bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.
Karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi
penciptaan, (3) media penyampai isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen
fiksional sehingga menjadi suatu wacana. Pengarang dalam memaparkan isi karya
fiksi bisa lewat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog maupun monolog, dan
(3) lakuan atau action (Aminuddin, 2004:66).
2.4
Apresiasi Karya Sastra
Istilah apresiasi berasal dari
bahasa Latin apreciatio yang berarti
“mengindahkan” atau “menghargai”. S. Effendi dalam (Aminuddin, 2004:35)
mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra
secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan
pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Boulton
(dalam Aminuddin, 2004:37) beranggapan bahwa cipta sastra, selain menyajikan
nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberi kepuasan batin
pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau
kontemplasi batin, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat,
politik maupun berbagai macam problema kehidupan ini.
Aminuddin
(2004:38) lebih menegaskan bahwa cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai
macam unsur yang sangat kompleks, yaitu (1) unsur keindahan; (2) unsur
kontemplatif hasil perenungan terhadap nilai-nilai keagamaan, filsafat,
politik, dan berbagai macam kompleksitas kehidupan; (3) media pemaparan, baik
berupa media kebahasaan maupun struktur wacana; serta (4) unsur-unsur intrinsik
yang berhubungan dengan karakteristik cipta sastra sebagai suatu teks.
Bekal
awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator adalah (1) kepekaan emosi
sehingga mampu memahami unsur-unsur keindahan di dalam cipta sastra, (2)
wawasan pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman atas kehidupan dan
kemanusiaan, (3) pemahaman aspek kebahasaan, dan (4) kepekaan terhadap
unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang berhubungan dengan telaah teori sastra
(Aminuddin, 2004:38).
2.5 Fungsi Dongeng Bagi Anak-anak
Manfaat dongeng
adalah memberi hiburan, mengajarkan kebenaran, dan memberikan keteladanan
(Depdiknas, 2005: 31). Hibana S. Rakhman dalam bukunya Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, dalam (Depdiknas, 2005: 31)
menyebutkan manfaat dongeng bagi anak adalah (1) mengembangkan fantasi, (2)
mengasah kecerdasan emosional, (3) menumbuhkan minat baca, (4) membangun
kedekatan dan keharmonisan, dan (5) menjadi media pembelajaran.
2.6 Pengertian Nilai
Nilai
merupakan realitas abstrak. Nilai, bisa kita rasakan dalam diri kita
masing-masing sebagai daya pendorong dan sebagai prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Sehingga
nilai menduduki tempat terpenting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu
tingkat demi menjunjung tinggi suatu nilai yang diyakini, sementara orang lebih
siap mengorbankan hidupnya daripada harus mengorbankan nilai, Ambroise (dalam
Kaswardi, 1993:17).
2.6.1 Nilai Moral dalam Kehidupan Sosial
Manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial, dalam menjalani kehidupan ini tentu membutuhkan suatu tuntunan
atau pegangan hidup agar selamat dan tidak tersesat. Manusia sebagai makhluk
bermoral dan berbudaya, untuk memperoleh nilai-nilai moral bisa didapatkan dari
ajaran agama, pendidikan, dan lingkungan baik lingkungan keluarga maupun
lingkungan sosial. Nilai moral berhubungan dengan perilaku (akhlak) manusia
kepada Tuhan dalam konteks bahawa manusia sebagai insan makhluk Tuhan, dan
tingkah laku manusia dalam interaksi sosial dalam kerangka bahwa manusia
sebagai makhluk sosial.
Nilai-nilai moral menjadi dasar
yang menuntun tujuan dan tingkah laku dalam kehidupan sosial. Dalam
berinteraksi sosial, manusia dituntut harus memenuhi segala kebutuhan hidup
dengan cara yang benar serta untuk tujuan yang benar pula.
Nilai-nilai dalam kehidupan
moral manusia bisa mencakup: (1) kejujuran antar manusia, Simorangkir, Fachruddin, dan Mulder (dalam Surtijah,
2006:14-15); (2) kebersatuan dalam hidup, Mulder dan Magnis Suseno (dalam
Surtijah, 2006:15-16); (3) kesetiaan dan cinta kasih Mulder (dalam Surtijah,
2006:16), (4) Kebenaran akhirnya akan mencuat; dan (5) ketabahan berbuah
kebajikan, Poedjawiyatna (dalam Susrtijah, 2006:17).
2.6.2 Peranan Guru Dalam Pembentukan Sikap Siswa
Penanaman nilai-nilai moral di
sekolah dipengaruhi oleh sikap dan tindakan guru terhadap murid atau
sebaliknya. Peranan guru di sekolah sebagai figur dalam kedudukannya sebagai
orang dewasa, sebagai pengajar dan pendidik harus bisa menunjukkan perilaku
yang layak sesuai harapan masyarakat.
Bila murid diharapkan
menghormati sesamanya, maka guru harus memberi contoh dengan menghargai murid
sebagai pribadi yang utuh. Guru harus menempatkan posisi murid bukan sebagai
obyek semata-mata yang harus selalu bersikap “diam dan taat”, melainkan sebagai
pribadi yang memiliki hak dan nilai sama seperti guru, Gauthy (dalam Kaswardi,
1993:116).
Mengacu pada teori Piaget tentang kemandirian
merupakan tujuan pendidikan, Constance Kamii (dalam Kaswardi, 1993:56-58)
membagi dalam tiga bagian meliputi: (1) kemandirian moral, (2) kemandirian
intelektual, dan (3) kemandirian dalam mencapai tujuan pendidikan. Dalam
konteks kemandirian moral, mandiri diartikan sebagai “diperintah oleh dirinya
sendiri”, yang oleh Piaget (1948) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
semakin seseorang mampu memerintah dirinya sendiri, semakin ia kurang
diperintah oleh orang lain.
Hakekat kemandirian adalah
kemampuan anak membuat keputusan bagi diri sendiri. Tetapi kemandirian tidak
identik dengan kebebasan mutlak. Kemandirian berarti memperhitungkan semua
faktor yang relevan dalam enentukan arah tindakan yang terbaik bagi semua yang
berkepentingan, demikian teori Piaget yang disunting Kamii (dalam Kaswardi,
1993:59-60).
2.7 Pendidikan Nilai dan Sastra
Jakob Sumardjo (dalam
Kaswardi, 1993:147-153) menekankan pentingnya penanaman nilai dalam dunia
pendidikan melalui membaca karya sastra, karena sebuah karya sastra juga
berfungsi mendayagunakan nilai. Muatan nilai-nilai yang dikandung dalam sastra,
kadang ada karya sastra yang mempertegas nilai-nilai yang umum dianut oleh
masyarakat zamannya. Karya demikian bersifat didaktik.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metodologi Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah,
metodologi menempati peranan yang sangat penting sesuai dengan obyek
penelitian.
Yang dimaksudkan
dengan metodologi di sini adalah kerangka teoritis yang dipergunakan oleh
penulis untuk menganalisa, mengerjakan, atau mengatasi masalah yang dihadapi
itu. Kerangka teoritis atau kerangka ilmiah merupakan metode-metode ilmiah yang
akan diterapkan dalam pelaksanaan tugas itu
(Keraf, 2001:310).
3.2 Metode Penelitian
Metode
penelitian (research methods) adalah
cara-cara yang digunakan oleh peneliti dalam merancang, melaksanakan, mengolah
data, dan menarik kesimpulan berkenaan dengan masalah penelitian tertentu
(Sukmadinata, 2006:317).
Penelitian
ini berjudul Nilai-nilai Moral dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara. Pendekatan yang
digunakan melalui metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
kualitatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis fenomena-fenomena, peristiwa, aktivitas sosial secara alamiah
(Sukmadinata, 2006:319).
Penggunaan metode ini
bertujuan untuk menggambarkan peristiwa secara objektif dengan cara
mengungkapkan nilai-nilai moral yang dipaparkan secara monolog, dialog, dan narasi
tokoh cerita dalam dongeng yang berbentuk legenda Asal Mula Banyuwangi susunan Tira Ikranegara.
3.3
Pendekatan Penelitian
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena
seluruh kegiatan yang dilakukan dan hasil yang diharapkan dari penelitian ini
didasarkan pada paradigma penelitian kualitatif. Freeman dan Long (dalam
Surtijah, 2006:19) mengemukakan paradigma yang dimaksud di antaranya: (1)
berorientesi pada proses, (2) datanya berupa verbal/paparan bahasa, (3) hasil
temuan tidak untuk digeneralisasikan sehingga tidak bisa diberlakukan untuk
karya orang lain, (4) peneliti memiliki peran sebagai instrumen utama, sehingga
hasil penelitian sangat ditentukan oleh kedalaman pengetahuan dan pengalaman
peneliti.
Penelitian
ini mengkaji nilai moral dalam dongeng yang menyangkut pemikiran serta nilai
normatif yang berhubungan dengan hidup manusia sebagai makhluk pribadi, makhluk
sosial, dan makhluk Tuhan, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan
moral.
3.4 Sumber Data
Sumber
data penelitian ini adalah legenda Asal
Mula Banyuwangi. Sumber data
penelitian merupakan suatu teks atau wacana sastra yang memiliki berbagai unit
tekstual. Unit-init tekstual yang dimaksud adalah bagian terkecil dari
keseluruhan isi cerita yang diambil sebagai korpus data yang diteliti.
Pertimbangan ditulisnya legenda Asal Mula
Banyuwangi, karena cerita tersebut mengandung nilai-nilai yang berguna bagi
anak-anak. Dengan demikian sebagai karya sastra, maka eksistensi cerita rakyat
karya
3.5 Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini diambil dari legenda berjudul Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara terbit tahun 2005. Berbentuk tekstual yang berisi tentang nilai-nilai moral yang diambil secara langsung dari karya sastra tersebut. Kutipan tekstual selanjutnya dianalisis nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Adapun nilai-nilai moral yang dijadikan obyek penelitian ini antara lain : (1) kejujuran sesama manusia, (2) kebersatuan dalam hidup, dan (3) kesetiaan dan cinta kasih.
3.6 Teknik Penelitian
3.6.1 Teknik Pengumpulan data
Teknik yang digunakan untuk pengeumpulan data adalah menggunakan teknik tekstual, yaitu analisis atau telaah terhadap teks dan penafsirannya, yang diambil dalam bentuk korpus data disebut juga observasi tidak langsung. Peneliti tidak turun lapangan, tetapi memanfaatkan dokumen tertulis. Legenda Asal Mula Banyuwangi yang dikaji dalam penelitian ini merupakan obyek, yang berupa karya sastra. Langkah-langkah operasionalnya adalah sebagai berikut (1) membaca karya sastra; (2) mengklasifikasikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita tersebut.
3.6.2
Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Patton (dalam Surtijah, 2006:22) adalah mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola katagori dan satuan uraian sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data. Pendekatan yang digunakan adalah melalui kajian nilai moral sehingga lebih banyak mengandalkan interpretasi atau penafsiran dari paparan data penelitian.
Dalam menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan skenario berupa tahapan teknik analisis data meliputi: (1) mengumpulkan data-data yang mengandung nilai-nilai moral; (2) mengklasifikasikan data dengan memilah-milah sesuai kriteria; (3) menginterpretasikan data, yaitu data dikelompokkan dengan memberi penafsiran yang sesuai dengan permasalahan penelitian; (4) pengkatagorian data, melalui telaah ulang paparan cerita secara intensif dan observatif agar diperoleh gambaran yang utuh; dan (5) mendeskripsikan hasil analisis secara verbal sebagai suatu hasil analisis.
3.6.3
Kehadiran Peneliti
Peneliti
sebagai instrumen utama menggunakan spesifikasi data (kisi-kisi instrumen)
dalam mengambil dan mengolah data seperti yang disusun berikut ini.
Tabel 3.1 Spesifikasi Data
Nomor
Variabel
yang
diteliti
|
Indikator |
Kriteria |
1. Nilai-nilai Moral |
a.
Kejujuran sesama
manusia
b.
Kebersatuan dalam hidup
c.
Kesetiaan dan cinta kasih
|
a.a Menghormati orang lain
a.bTidak mementingkan diri sendiri
a.c Bekerja sama
b.a Saling menerima
b.b Mengatasi perbedaan sehingga tercipta kehidupan harmonis
b.c Sadar dan bersedia
meringankan beban orang lain
c.a Rela berkorban
c.b Suka menolong
|
3.5
Prosedur Penelitian
3.5.1
Tahap Persiapan
(a)
Penyusunan rancangan penelitian
Dimulai
dari merumuskan tujuan penelitian, merumuskan
gambaran operasional kerja secara sistematis, membuat desain dengan
membuat pedoman kerja hingga menemukan kemantapan desain penelitian.
(b)
Studi Pustaka
Dilakukan
untuk memperoleh landasan yeng relevan dengan penelitian.
3.5.2
Tahap Pelaksanaan
Dilakukan
dengan beberapa tahapan, meliputi:
(a)
Pengumpulan Data, yaitu mengumpulkan seluruh
data dalam dongeng berupa legenda Asal
Mula Banyuwangi, dengan cara: (1) kodifikasi korpus data dan deskripsi
data, (2) interpretasi data, (3) rekapitulasi temuan, dan (4) deskripsi
kualitatif temuan.
(b)
Analisis Data, dengan menganalisis tokoh
berdasarkan tahapan kerja : (1) mengklasifikasi data, dan (2) mendeskripsikan
secara kualitatif temuan dalam legenda Asal
Mula Banyuwangi susunan Tira Ikranegara.
3.5.3 Tahap Penyelesaian
Tahap
penyelesaian ini merupakan tahap akhir setelah penelitian selesai dilaksanakan.
Tahap penyelesaian ini meliputi beberapa kegiatan yaitu : (a) penyusunan dan
penulisan laporan, (b) mengkonsultasikan laporan kepada dosen pembimbing, (c)
pengetikan laporan setelah dilakukan revisi, (d) penggandaan laporan kemudian
diajukan kepada tim dosen penguji.
BAB IV DESKRIPSI HASIL ANALISIS
4.1 Pengantar
Sebagaimana yang menjadi tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam dongeng berupa legenda Asal Mula Banyuwangi, maka pada bab IV ini dikemukakan hasil analisis data penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan permasalahan penelitian ini. berkaitan dengan hal tersebut, ada tiga hal yang dideskripsikan dalam bab ini, yaitu (1) Kejujuran antar manusia yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, (2) Kebersatuan dalam hidup yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, dan (3) Kesetiaan dan cinta kasih yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara. Ketiga hal tersebut akan dideskripsikan, namun sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu ringkasan cerita (Sinopsis) legenda Asal Mula Banyuwangi sebagaimana yang berikut ini.
4.2 Ringkasan Cerita Legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira
Ikranegara
Legenda Asal Mula Banyuwangi tidak terlepas dari latar historis yaitu tentang sejarah kekuasaan kerajaan Blambangan yang menggulingkan kerajaan Klungkung di pulau Dewata, Bali, dalam rangka ekspansi (memperluas) wilayah kekuasaan kerajaan Blambangan di bawah pimpinan Prabu Menak Prakosa, yang konon masih keturunan dari Prabu Menak Jingga.
Dewi Supraba dan kakandanya yaitu Raden Bagus Tantra adalah dua putra-putri Baginda Raja Klungkung, bersama senopati Cokorde Rai diperintahkan oleh baginda raja agar segera meninggalkan istana, menyingkir bersembunyi, menjelang kedatangan serangan dari kerajaan Blambangan.
Syahdan, kerajaan Klungkung bisa digulingkan oleh pasukan di bawah pimpinan langsung Prabu Menak Prakosa yang berhasil menewaskan Baginda Raja Klungkung. Klungkung dikuasai Blambangan dan dijadikan kadipaten di bawah pimpinan panglima perang Rogojampi yang diangkat oleh Prabu Menak Prakosa sebagai Adipati Klungkung, karena jasanya membantu upaya penaklukan tersebut.
Adipati Rogojampi segera memerintahkan anak buahnya mencari keberadaan keturunan raja Klungkung yaitu Dewi Supraba dan Raden Bagus Tantra ke seluruh pelosok pulau Bali agar menyerahkan diri, dengan menjanjikan bahwa Dewi Supraba akan dipersitri serta akan dijadikan garwa permaisuri kadipaten dan kakandanya akan diangkat sebagai patih di kadipaten Klungkung. Namun upaya ini tidak pernah berhasil karena kedua pelarian ini bagaikan lenyap di telan bumi pulau Dewata.
Raden Banterang adalah putra mahkota kerajaan Blambangan. Ia memiliki perangai buruk yaitu suka mentang-mentang sebagai putra mahkota, suka menghukum dengan semena-mena orang yang berbuat salah, dan suka mengambil keputusan tergesa-gesa tanpa pertimbangan yang masak. Termasuk pengambilan keputusan untuk memperistri Dewi Surati yang sebenarnya adalah Dewi Supraba yang menyamar menjadi gadis desa biasa saat pelarian oleh kejaran pasukan Blambangan, dan hendak diperkosa oleh dua orang perampok di tepian sebuah sungai. Beruntung Dewi Surati tergolong wanita yang tahu membalas budi dan tidak memiliki sifat pendendam. Meskipun terhadap suaminya sendiri, yaitu putra musuh Ramandanya yaitu Raden Banterang, Dewi Surati tetap setia karena merasa telah ditolong oleh Raden Banterang, dan masalah dendam itu urusan lain dan ia tidak memiliki sifat pendendam itu, karena saat penyerbuan ke kerajaan ayahandanya yaitu kerajaan Klungkung, Raden Banterang tidak ikut serta.
Awal menikmati masa pernikahan mereka, Dewi Surati diperlakukan istimewa dan mendapat perhatian yang lebih dari istana. Namun setelah sekian tahun belum memberi keturunan, hanya Prabu Menak Prakosa yang masih tetap menyayanginya. Ibunda permaisuri tidak demikian, termasuk suaminya sendiri yang justru sering meninggalkannya dengan berburu dan berguru ilmu kanoragan dan ilmu kesaktian. Hingga suatu ketika, saat Dewi Surati sendirian, ia kedatangan kakaknya yaitu Bagus Tantra yang datang dengan menyamar menjadi pengemis.
Kedatangan Bagus Tantra tidak lain adalah menghasut Dewi Surati agar bersedia membuat kekacauan dengan membunuh suaminya, Raden Banterang, bahkan mertuanya sendiri yaitu Prabu Menak Prakosa dengan tujuan merebut kekuasaan kembali kerajaan Klungkung dengan cara subversi sekaligus suksesi di pusat pemerintahan, yakni kerajaan Blambangan. Hal ini ditolak oleh Dewi Surati, karena ia menyadari bahwa dirinya sudah ditolong saat hidupnya terlunta-lunta.
Dengan keris pusaka peninggalan mendiang Ramandanya yaitu Baginda Raja Klungkung yang diletakkan di bawah bantal tempat tidur Dewi Surati, adiknya sendiri, Bagus Tantra yang masih dalam penyamarannya, berganti menghasut Raden Banterang dengan membuka rahasia jati diri adiknya bahkan mengatakan jika Dewi Surati berencana membunuh Raden Banterang, juga Prabu Menak Prakosa akan dibunuhnya pula. Keris pusaka kerajaan Klungkung yang dipersiapkan di bawah bantal tempat tidurnya sebagai bukti jika Raden Banterang tidak percaya.
Raden Banterang yang memang berperangai buruk suka gegabah dalam mengambil keputusan, segera termakan hasutan si pengemis. Sepulangnya dari berburu, ia langsung menghardik dan menuduh istrinya. Dewi Surati kendatipun sudah berusaha meyakinkan dengan bersumpah masih tetap setia kepada suaminya, Raden Banterang, dan tidak sedikitpun terbersit keinginan berkhianat apalagi membalas dendam, namun Raden Banterang sudah tertutup mata hatinya. Di tepi sungai yang dulu ia menolongnya, Raden Banterang membawa Dewi Surati sambil menunjukkan sebilah keris pusaka kerajaan Klungkung kepada Dewi Surati sembari minta kepastian siapa jati diri sebenarnya istrinya itu. Dewi Surati yang terbelalak tidak mengerti, segera menyadari jika kakaknya sendiri, Bagus Tantralah yang telah menghasut suaminya. Maka, saat suaminya minta bukti pengakuan dan kesetiaan darinya, ia menolak keris pusaka itu agar tidak terkotori oleh darahnya. Dewi Surati punya cara lain yaitu segera menceburkan diri ke dalam derasnya arus sungai, sembari sebelumnya berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan bersumpah kepada suaminya bahwa jika air sungai yang menelan dirinya nanti berbau wangi itu pertanda dirinya istri yang setia, tetapi jika sebaliknya berbau busuk pertanda dirinya istri yang salah dan khianat.
Tiba-tiba, air sungai yang menelan lenyap tubuh Dewi Surati segera beraroma wangi sesaat setelah Dewi Surati menceburkan diri. Raden Banterang terkesiap seraya berteriak “Banyuwangi.” Setelah itu Raden Banterang menyadari dan menyesali diri, karena kecerobohannya sehingga istrinya yang setia dan tidak pernah berkhianat menjadi korban. Tempat dan sungai itulah, yang kelak dikemudian hari terkenal dengan sebutan kota Banyuwangi.
4.3 Deskripsi Kejujuran sesama manusia yang tercermin dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi
Kejujuran bisa diartikan kesesuaian antara ucapan dan perbuatan atau tingkah laku seseorang. Orang akan menjadi bermartabat karena sikap kejujurannya, sebaliknya orang akan dilecehkan dan tak berharga karena ketidakjujurannya, baik di mata manusia apalagi di hadapan Tuhan. Bantuk kejujuran antarmanusia yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, serta bukti temuan data tekstual dideskripsikan berikut ini.
Dewi Surati adalah wanita yang memiliki sifat jujur dan setia kepada suami. Meskipun ia diperistri oleh Putra Mahkota dari kerajaan yang menumbangkan kekuasaan Ramandanya yaitu raja Klungkung, Dewi Surati tidak mau membalas dendam. Ia menilai bahwa suaminya tidak ikut dalam penyerbuan itu. Ia merasa harus membalas budi terhadap suaminya saat ia hidup terlunta-lunta dan nyaris diperkosa oleh dua perampok yang berhasil dibinasakan oleh Raden Banterang yang kini menjadi suaminya.
Dewi Surati bersikeras tidak mau mengkhianati suaminya, meskipun musuh bebuyutan keluarganya, bahkan walaupun kerajaan ayahandanya digulingkan oleh pihak suaminya. Pertemuan dengan Kakandanya sendiri, Bagus Tantra yang menyamar menjadi pengemis dan menghasutnya agar membunuh suaminya, Dewi Surati tetap bersikap jujur tidak mau membunuh suaminya karena merasa bahwa kejujuran juga terkait dengan membalas budi kebaikan. Permasalahan musuh, Dewi Surati menganggap suaminya, Raden Banterang tidak ikut andil dalam eskpansi wilayah dengan penggulingan kekuasaan kerajaan Klungkung, kerajaan ayahandanya. Temuan data tekstual sebagaimana disalin berikut ini.
“Jangan
berkata demikian Kakanda Bagus Tantra, aku masih tetap adikmu seperti dulu,”
sahut Dewi Surati yang tak lain adalah Dewi Supraba. “Aku menyamar sebagai Dewi
Surati untuk menghindari kejaran musuh!”
“Ya, tapi
akhirnya kau menjadi istri musuh kita!,” potong Bagus Tantra dengan sengit.
“Suamiku tidak
ikut dalam penyerbuan ke pulau Bali. Musuh kita hanya Prabu Menak Prakosa!”
Dewi Supraba membela diri.
“Sama saja!
Suamimu toh putra Prabu Menak Prakosa! Berarti dia juga musuh kita!” sahut
Bagus Tantra.
“Aku dan paman
Cokorde rai sedang menyusun kekuatan untuk merebut kembali kerajaan Klungkung.
Tapi kau enak-enakan hidup bersama musuh. Kalau kau masih ingin kuakui sebagai
adikku, kau harus mau membantuku!”
“Kakanda, aku
harus membantu apa?”
“Kau harus
membantu kekacauan di istana Blambangan. Kau bisa membunuh suamimu atau
membunuh Prabu Menak Prakosa. Sehingga seluruh prajurit akan memusatkan
perhatian ke istana. Adipati Ragajampi mungkin akan pulang ke Blambangan untuk
berduka cita. Pada saat itulah aku dan Paman Cokorde rai akan bergerak merebut
kekuasaan di Klungkung!”
Dewi Supraba
ngeri sekali mendengar rencana kakaknya. Tanpa sadar dia berteriak, “Tidaaak!
Tidak mungkin aku dapat melakukannya. Aku telah ditolong suamiku ketika aku
terlunta-lunta dan hendak diperkosa oleh dua orang perampok!” (hal. 46)
4.4 Deskripsi Kebersatuan dalam hidup yang
tercermin dalam Legenda Asal Mula
Banyuwangi
Ada pepatah yang menjadi panutan banyak orang yang mengatakan bahwa : bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Agaknya pomeo semacam ini tertanam dengan baik dan menjadi esensi setiap petuah atau nasehat yang mungkin perlu diambil hikmahnya secara turun temurun bagi setiap generasi. Aspek kebersatuan dalam hidup juga tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi, yaitu ada beberapa temuan sebagai hasil analisis seperti dipaparkan berikut ini.
1. Setelah kerajaan Klungkung bisa ditaklukkan, Prabu Menak Prakosa memenuhi janjinya dengan mengangkat Ragajampi (senopati perangnya) sebagai Adipati Klungkung di bawah kekuasaan Blambangan. Adipati Ragajampi segera memboyong keluarganya ke Klungkung bahkan agar bisa merangkul masyarakat agar tidak mendendam serta bisa diajak bersatu, Adipati Ragajampi memerintahkan anak-anak dan istrinya untuk mempelajari adat-istiadat masyarakat Bali, baik menyangkut bahasa, seni tari maupun seni musiknya. Bahkan untuk menunjukkan I’tikad baiknya, pasukannya diperintahkan agar mencari Dewi Supraba dan Raden Bagus Tantra yaitu kedua putra kerajaan Klungkung yang melarikan diri bersama panglima Cokorde Rai saat penaklukan Klungkung. Kepada dewi Supraba dijanjikan akan diperistri, dan kepada Bagus Tantra hendak diangkat menjadi Patih Kadipaten Klungkung. (Simpulan analisis hal. 20)
2. Sepulang Raden Banterang dari usaha melacak Pendekar Tanpa Nama yang akhirnya bertemu, duel adu kesaktian sampai ia bisa dikalahkan sehingga kemudian ia mengakui sebagai semacam gurunya, di perjalanan pulang ke kerajaan Blambangan, Raden Banterang menolong Dewi Surati, yang notabene adalah Dewi Supraba yang dalam pelariannya menyamar sebagai gadis desa biasa. Ia ditolong saat hendak diperkosa oleh dua penjahat di sebuah sungai. Dua penjahat bisa dibinasakan, dan Dewi Surati selamat bahkan bersedia diajak menghadap ke Ramandanya yaitu Prabu Menak Prakosa untuk diperkenalkan sekaligus dimintakan restu sebagai istrinya. Hal ini sebagai bukti kebersatuan dalam hidup, yang bisa dilihat pada data tekstual berikut.
3. Prabu Menak Prakosa dan permaisuri memang sudah lama ingin melihat putra satu-satunya berumah tangga, maka ketika Raden Banterang pulang dengan membawa seorang gadis cantik, sang Prabu langsung menyetujuinya.
Demikianlah, akhirnya dilangsungkanlah pernikahan antara Raden Banterang dan Dewi Surati dengan upacara yang megah. (hal. 41)
4.5 Deskripsi Kesetiaan dan cinta kasih yang tercermin dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi
Penjelasan tentang bentuk kesetiaan dan wujud cinta kasih yang terdapat dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara bisa dilihat pada diri tokoh utama dari cerita legenda ini yaitu Dewi Surati. Kesetiaan Dewi Surati terhadap suaminya yaitu Raden Banterang atas tuduhan suaminya bahwa ia dianggap akan berkhianat bahkan akan mengadakan makar dan akan membalas dendam dengan merencanakan pembunuhan terhadap Raden Banterang dengan bukti diketemukannya keris pusaka yang berciri khas sebagai pusaka kerajaan Klungkung yang berada di bawah bantal tempat tidur mereka berdua. Tuduhan ini dianggap menyakitkan dan perlu pembuktian, maka ketika dirinya diajak ke tepi sungai besar bertebing terjal oleh Raden Banterang, sungai tempatnya dahulu dirinya diselamatkan oleh suaminya tersebut, Dewi Surati membuktikan bahwa dirinya tidak berkhianat, tidak akan mengadakan makar, dan tidak akan membalas dendam meskipun sekitar dua minggu sebelumnya ia bertemu kakandanya yaitu Raden Bagus Tantra yang masih hidup dalam pelarian atau persembunyiannya dan menyamar sebagai pengemis serta menganjurkan kepada Dewi Surati agar membunuh suaminya, yang juga musuh bebuyutan mendiang ayahanda dan ibundanya. Kesetiaan dan cinta kasih kepada suaminya, ia buktikan dengan rela berkorban menceburkan diri ke dalam sungai, seraya sebelumnya bersumpah bahwa jika air sungai berbau wangi itu pertanda dirinya tidak seperti apa yang dituduhkan, dan jika sebaliknya maka dirinya seperti apa yang dituduhkan suaminya.
Deskripsi data tekstual tentang hal ini bisa dilihat
sebagai berikut.
Kemudian
Dewi Surati berkata kepada suaminya, “Saksikanlah Kakanda… saya akan mencebur
ke sungai itu. Bila nanti sungai itu berbau wangi, itu tandanya saya istrimu
yang setia. Tetapi bila berbau busuk itu tandanya saya istri yang bersalah dan
berkhianat… selamat tinggal Kakanda…!” (hal. 54)
Ternyata kesetiaan dan cinta kasih Dewi Surati
terhadap suaminya terbukti. Hal ini bisa dilihat pada data tekstual
kelanjutannya.
“Byur!”
air bergolak ketika Dewi Surati menceburkan diri ke sungai. Tubuhnya tenggelam
dan tak pernah muncul lagi.
Raden
Banterang terpaku berdiri di tempatnya. Sesaat kemudian tercium bau harum dari
air sungai. “Banyuwangi” teriak Raden Banterang. Banyuwangi artinya air berbau
harum sangat wangi. Kini tahulah Raden Banterang bahwa istrinya itu
sesungguhnya tidak bersalah.
Tapi
nasi sudah menjadi bubur.
Raden
Banterang menyesali kecerobohannya.
Tapi seribu
penyesalan tak akan pernah mengembalikan Dewi Surati yang cantik jelita, lemah
lembut dan baik hati.
Tempat kediaman
itu kemudian dinamakan Banyuwangi. Di jaman modern ini kota Banyuwangi
berkembang menjadi kota yang ramai. (hal. 54)
BAB V P E N U T U P
5.1 Kesimpulan
Setelah menganalisis hasil penelitian, pada bab ini dipaparkan kesimpulan pembahasan tentang nilai-nilai moral yang tercermin dalam legenda yang berjudul Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara. Kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu (1) gambaran bentuk kejujuran sesama manusia yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, (2) gambaran bentuk kebersatuan dalam hidup yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, dan (3) gambaran bentuk kesetiaan dan cinta kasih yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara. Masing-masing nilai tersebut dijelaskan berikut ini.
1. Kejujuran sesama manusia dalam legenda Asal Mula Banyuwangi dapat diartikan sebagai sikap saling menghormati terhadap sesama manusia, tidak pandang bulu dalam perilaku dan perbuatan, selalu menghargai hak milik orang lain dengan ikut serta menjaganya agar tidak diganggu orang lain, dan selalu berusaha membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Kejujuran adalah juga suatu sikap menjauhkan diri dari pengkhianatan, sebagaimana sikap Dewi Surati saat dihasut oleh Kakandanya sendiri yaitu Bagus Tantra agar bersedia membunuh Raden Banterang yaitu suaminya sendiri, namun Dewi Surati tetap tidak bersedia. Ia bisa melepaskan perasaan dendam, dan menatap masa depan bersama suaminya dengan hidup penuh kejujuran sesama manusia.
2. Kebersatuan dalam hidup yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi mengandung arti bahwa manusia harus selalu mengasihi sesama manusia lainnya tanpa pandang bulu; tidak memiliki rasa kebencian, kedengkian, apalagi permusuhan; selalu menunjukkan rasa kebersamaan dan merasa kehilangan jika terpisahkan dari mereka; merasa bahwa dalam hidup dan kehidupan ini selalu terdapat saling ketergantungan antara satu dengan lainnya dengan kalimat lain: orang tidak mungkin bisa hidup sendiri tanpa keterlibatan yang lain. Hal kebersatuan dalam hidup ini disimpulkan dari sikap Dewi Surati yang bersedia diperistri oleh Raden Banterang setelah ia ditolong dari upaya pemerkosaan yang dilakukan dua penjahat.
3. Kesetiaan dan cinta kasih seperti yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi memiliki makna yang sangat dalam, yaitu bahwa orang akan berharga di mata sesama karena kesetiaannya. Istri akan lebih berharga di mata suamu karena kesetiaannya. Pemimpin dan rakyatnya rela menyabung nyawa bertempur mempertaruhkan harta-benda jiwa-raga karena kesetiaan kepada negerinya. Bahkan seorang istri, seperti Dewi Surati terhadap suaminya Raden Banterang, untuk menunjukkan kesetiaan dan bukti pengabdiannya kepada suami, ia rela mengorbankan diri tiada lain untuk membuktikan cinta kasih yang sejati. Kesetiaan dan cinta kasih ibarat dua sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, ibarat sekeping uang logam yang tidak mungkin terpisahkan. Lebih jauh, esensi yang menjadi inti tema dongeng berupa legenda Asal Mula Banyuwangi ini adalah Kesetiaan dan Cinta Kasih seorang istri yang rela mengorbankan diri sebagai bukti bahwa kesetiaan dan cinta kasihnya kepada sang suami tetap suci dan tak pernah ternoda.
Dari ketiga gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan yang bisa dijadikan pelajaran sebagai hikmah kehidupan dari Legenda Asal Mula Banyuwangi adalah bahwa hendaknya sebelum bertindak sebaiknya berpikir dan mempertimbangkan baik-baik dan secara seksama, karena penyesalan yang timbul kemudian tidak akan berguna.
5.2 Saran-saran
Sehubungan dengan hasil penelitian tersebut, berikut ini beberapa saran diharapkan dapat memberi kontribusi serta dijadikan bahan pertimbangan berkaitan pengajaran keterampilan berbahasa dan bersastra Indonesia.
1. Pembelajaran mengapresiasi karya sastra termasuk dongeng dalam bentuk legenda merupakan salah satu aspek yang dapat memperbaiki akhlak manusia agar tertanam rasa saling percaya, saling mengasihi, saling tolong-menolong dan saling menghormati antar sesama manusia.
2. Nilai falsafah yang tercermin dalam kandungan suatu karya sastra selalu bersifat abadi. Oleh sebab itu, tiada batasan untuk mengkaji, mempelajari, dan mengambil suri teladan dari setiap hasil karya sastra yang bernilai tinggi. Esensi filosofi bagi kehidupan ini senantiasa tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas, selalu bersifat universal. Artinya, bagi setiap kaum, bagi setiap jaman, nasehat kehidupan adalah suatu kebutuhan agar manusia menjadi lebih berguna dan hidup menjadi lebih bermakna.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul
Rani, Supratman. 2004. Intisari Sastra
Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Aminuddin.
2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Badudu, J.S. dkk.1996. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Depdikbud.
1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas.
2005. Materi Pelatihan Terintegrasi. Bahasa dan Sastra Indonesia.Pengembangan
Kemampuan Menulis Sastra. Buku 3. Jakarta: Direktorat PLP Dirjendikdasmen
Depdiknas.
Effendy,
M.Roeslan. 1984. Selayang Pandang
Kesusastraan Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu.
IKIP
Malang. 1996. Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian.
Malang: Satgas OPP Bagian Proyek OPF. IKIP Malang.
Ikranegara,
Tira. 2005. Asal Mula Banyuwangi.
Surabaya: Karya Agung.
Kaswardi,
EM.K.1993. Bunga Rampai Pendidikan Nilai
Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Grasindo.
Keraf,
Gorys. 2001. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa.
Flores: Nusa Indah.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Surtijah, Makrina. 2006. Nilai-nilai Moral Dalam Dongeng Cindelaras
dari Cerita Panji. Skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FPISH IKIP Budi Utomo Malang. Malang: IKIP Budi Utomo Malang.
ssss--------kudedikasikan untuk Indonesiaku
tercinta------rrrr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar