KAJIAN TEKSTUAL NOVEL MATAHARI DI BATAS CAKRAWALA KARYA MIRA W. BERDASARKAN PENDEKATAN DIDAKTIS
ANALISIS OLEH
SUGENG RIANTO
KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan karuniaNYA
sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi tepat pada
waktunya. Salam sholawat semoga senantiasa terlimpahkan atas Junjungan Baginda
Rasulullah Muhammad SAW.
Skripsi/KTI
yang berjudul “Kajian Tekstual Novel
Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W. Berdasarkan Pendekatan Didaktis”
ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Pendidikan Ilmu
Sosial dan Humaniora IKIP Budi Utomo Malang.
Keberhasilan
penyelesaian penulisan skripsi/KTI ini tiada lain berkat adanya bantuan, bimbingan,
dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis dengan segenap
kerendahan hati secara tulus menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1. dan seterusnya ...
6.
Ibunda tercinta yang senantiasa dengan
penuh kesabaran mendoakanku, seluruh
saudara dan kakak iparku yang selalu memberi dorongan motivasi, serta para
keponakanku yang lucu dan setia mendampingi penulis hingga menyelesaikan masa
studi program kesarjanaan ini,
7.
Semua pihak yang telah banyak membantu penulis
dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Semoga amal kebajikan semua pihak tersebut mendapatkan pahala yang
berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa teriring harapan agar skripsi ini bermanfaat
bagi penulis, pembaca, dan khususnya bagi pengembangan pembinaan pengajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik membangun dan
sumbangsaran senantiasa penulis harapkan demi penelitian di masa mendatang.
Penyusun
ABSTRAK
--------------------2007. Kajian Tekstual Novel Matahari Di Batas
Cakrawala Karya Mira W. Berdasarkan Pendekatan Didaktis.
Kata-kata Kunci : Kajian, novel,
pendekatan, didaktis
Kegiatan mengapresiasi karya
sastra melalui ragam membaca estetis, membaca kritis, dan membaca kreatif pada
dasarnya di samping sebagai kegiatan rekreatif bagi pembaca, juga memiliki
nilai manfaat yaitu berbagai petunjuk dan keteladanan lewat teks sastra
sehingga nilai-nilai kehidupan yang didapatnya dengan mengakrabi sastra akan
lebih mengendap pada aspek kejiwaannya serta lebih menikmatkan batin si
pembaca. Salah satu pendekatannya adalah melalui pendekatan didaktis yaitu
suatu pendekatan yang dilakukan oleh pembaca yang berusaha menemukan pemahaman
gagasan, tanggapan dan sikap evaluatif si pengarang terhadap kehidupan yang
mencakup bagaimana pandangan pengarang terhadap nilai/norma etika, filosofis,
maupun nilai religi sehingga mampu memperkaya kehidupan ruhaniah pembacanya. Nilai didaktis ini merupakan nilai-nilai
pendidikan dalam arti luas yakni pendidikan kehidupan yang menjadi pesan amanat
(message) pengarang kepada pembaca lewat hasil karya sastra.
Penelitian
ini berjudul Kajian Tekstual dalam Novel
Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W. Berdasarkan Pendekatan Didaktis.
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi
tentang: (1) perwatakan dan perilaku tokoh utama dalam hal ini tokoh utamanya
yaitu Wita, (2) mengetahui sikap tokoh utama dalam menghadapi cobaan Tuhan, dan
(3) menemukan nilai-nilai didaktis yang menjadi pesan amanat pengarang dari
gambaran sikap, watak, dan perilaku tokoh utama dalam novel tersebut. Sehingga
yang menjadi sumber data sebagai kajian tekstual penelitian ini adalah novel Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W.
2004.
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang
dilakukan melalui studi dokumentasi, yaitu penelitian yang mendeskripsikan
hasil kajian tekstual terhadap tokoh utama dalam novel Matahari Di Batas Cakrawala karya Mira W.
Berdasarkan analisis data
tekstual novel sesuai tujuan penelitian tentang
tokoh utamanya dapat diketahui dan disimpulkan bahwa Wita si pelaku
utama, memiliki watak yang berkemauan keras, pernah gegabah dalam masa
remajanya, namun bisa menjadi istri yang setia. Sebagai perempuan yang tegar
dan tabah dalam menghadapi cobaan Tuhan, penyayang terhadap anak tercinta
hingga rela mengorbankan nyawa jika dibutuhkan demi mendambakan anak yang pada
akhirnya harus terenggut darinya dan dari
suami tercinta, karena leukemia-penyakit kanker ganas yang diderita
putrinya. Sehubungan dengan anak yang sudah tidak mungkin lagi terlahir dari
rahimnya, Wita bersama suami tercinta pada akhirnya melewati hidup yang
bagaikan matahari di batas cakrawala, semula hampir terbenam sama sekali, namun
setelah mengadopsi anak, matahari itu-kebahagiaan itu- adalah fajar yang
bagaikan mulai menyingsing kembali. Dapat dideskripsikan pula bahwa melalui novel
ini, pengarang mengamanatkan kepada pembaca bahwa semakin terbenam seseorang
dalam lumpur penderitaan, semakin bercahaya pula mutiara di hatinya, akan
semakin tegar dan tabah pula menghadapi berbagai dera cobaan dari Tuhannya.
Saran yang dianjurkan berkaitan
hasil penelitian ini adalah agar pembelajaran sastra melalui kajian tekstual
terhadap perwatakan dan perilaku tokoh-tokoh cerita baik tokoh utama, maupun
tokoh pembantu dapat diajarkan dengan sebaik-baiknya kepada siswa dalam
menggairahkan kegiatan apresiasi sastra Indonesia, di samping unsur-unsur karya
sastra yang lain.
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang masalah
Mengapresiasi suatu hasil karya sastra sungguh merupakan kegiatan yang cukup mengayikkan, karena aktivitas ini berangkat dari kegemaran seseorang dalam membaca dan menikmati karya sastra. Membaca dengan ragam yang memiliki kaitan utama dengan kegiatan apresiasi adalah membaca estetis, membaca kritis, dan membaca kreatif.
Untuk mengapresiasi karya sastra, harus diawali dari sikap ketertarikan terhadap sastra sebagai suatu karya ciptaan pengarang yang di dalamnya terkandung beragam nilai-nilai kehidupan. Sehingga tidak berkelebihan jika Boulton (dalam Aminuddin, 2004:37) beranggapan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberi kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema kehidupan ini.
Bertolak dari pendapat Boulton, Aminuddin (2004:38) lebih menegaskan bahwa cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, yaitu (1) unsur keindahan; (2) unsur kontemplatif hasil perenungan terhadap nilai-nilai keagamaan, filsafat, politik, dan berbagai macam kompleksitas kehidupan; (3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana; serta (4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan karakteristik cipta sastra sebagai suatu teks. Diungkapkan pula, bahwa bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator adalah (1) kepekaan emosi sehingga mampu memahami unsur-unsur keindahan di dalam cipta sastra, (2) wawasan pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman atas kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman aspek kebahasaan, dan (4) kepekaan terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang berhubungan dengan telaah teori sastra.
Dalam pelaksanaan apresiasi sastra, kita bisa memulai dari satu pendekatan di antara berbagai pendekatan yang dianjurkan oleh Aminuddin (2004:40). Pendekatan yang menawarkan keasyikan tersendiri sesuai tujuan suatu penelitian adalah melalui pendekatan didaktis. Karena melalui pendekatan ini pembaca akan berusaha menemukan dan memahami suatu gagasan, tanggapan evaluatif serta sikap pengarang terhadap kehidupan. Semuanya bisa dicermati lewat kajian tekstual tentang bagaimana pandangan etis, filosofis, maupun pandangan agamis dari sang pengarang, sehingga pada akhirnya pembaca dapat memperkaya nilai-nilai kehidupan ruhaniahnya.
Sejalan dengan pemikiran untuk mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra, maka penelitian ini memfokuskan pada Kajian Tekstual Novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W. Berdasarkan Pendekatan Didaktis.
Masalah
Ruang Lingkup Masalah
Cipta sastra sebenarnya mengandung unsur yang sangat kompleks, sehingga untuk tujuan mengapresiasi bisa dilakukan melalui beberapa pendekatan yang meliputi pendekatan : parafrastis, emotif, analitis, historis, sosiopsikologis, dan pendekatan didaktis. Berkaitan proses kelangsungan apresiasi Olsen (dalam Aminuddin, 2004:40) menawarkan sejumlah pendekatan meliputi: pendekatan emotif, ekspresif, kognitif, semantis, dan pendekatan struktural. Juga dikemukakan terdapat sejumlah teori sebagai landasan apresiasi sastra meliputi: teori: fenomenologi, hermeneutika, formalisme, strukturalisme, semiotika, teori resepsi, dan teori psikoanalisis.
Batasan masalah
Berdasarkan ruang lingkup masalah yang sedemikian luas cakupannya untuk mengapresiasi karya, oleh keterbatasan waktu perlu adanya pembatasan masalah. Maka penelitian ini dibatasi pada masalah Kajian Tekstual Novel Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W.Berdasarkan Pendekatan Didaktis.
Rumusan Masalah
Bertolak dari pembatasan masalah di atas, masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimanakah gambaran perwatakan dan perilaku tokoh utama dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W.?
Bagaimanakah gambaran sikap tokoh utama dalam menghadapi cobaan Tuhan dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W.?
Nilai didaktis apa sajakah yang menjadi pesan amanat pengarang dari gambaran sikap, watak, dan perilaku tokoh utama dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W.?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai didaktis yang menjadi pesan amanat pengarang dari gambaran sikap, watak, dan perilaku tokoh utama dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W.
Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi yang obyektif tentang:
Perwatakan dan perilaku tokoh utama dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W.
Sikap tokoh utama dalam menghadapi cobaan Tuhan dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W.
Nilai-nilai didaktis yang menjadi pesan amanat pengarang dari gambaran sikap, watak, dan perilaku tokoh utama dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W.
Penegasan Istilah
Untuk menyamakan pemahaman sehingga terhindarkan dari kemungkinan terjadinya perbedaan penafsiran berkaitan dengan penggunaan istilah yang dikemukakan dalam penelitian ini, berikut ditegaskan beberapa istilah meliputi:
Novel adalah sebuah cerita prosa fiksi karya pengarang yang tercipta dengan dilandasi berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaian tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam imajinasinya; dan dihadirkan dalam bentuk paparan cerita yang panjang mengenai kehidupan manusia.
Tokoh utama adalah tokoh dalam pengertian sebagai pelaku/orang yang mengambil bagian/berperanan amat penting dalam setiap peristiwa dari alur cerita yang dikemukakan oleh pengarang. Tokoh adalah individu rekaan yang terdapat dalam berbagai peristiwa dalam karya sastra, baik itu tokoh wanita maupun tokoh pria.
Kajian tekstual dalam penelitian ini diartikan secara khusus dengan memegang pendapat yang menyatakan kajian atau telaah aspek psikologis tokoh-tokoh utama dalam suatu karya sastra.
Nilai-nilai didaktis adalah nilai-nilai pendidikan dalam arti luas yakni pendidikan kehidupan yang menjadi pesan amanat (message) pengarang kepada pembaca lewat hasil karya ciptaan berupa karya sastra.
Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini, baik secara teoritis maupun dalam tataran praktis adalah sebagai berikut:
Bagi Peneliti
Sebagai bekal pengalaman di bidang penelitian yang berhubungan dengan analisis tekstual melalui pendekatan didaktis terhadap karya sastra berupa novel berjudul Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W.
Mengetahui gambaran secara obyektif tentang nilai-nilai didaktis dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W.
Bagi Penelitian Selanjutnya
Sebagai dasar penelitian lebih lanjut di masa mendatang.
Sebagai bahan yang perlu dikaji kebenarannya tentang teori yang disusun oleh peneliti agar sesuai dengan hasil penelitian yang diharapkan.
Bagi Institut
Dengan adanya penelitian ini berarti pihak lembaga dapat menambah koleksi kepustakaan ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bagi Pengajaran Bahasa Indonesia
Dengan hasil penelitian ini agar dapat meningkatkan kemampuan apresiasi siswa dalam menganalisis suatu karya sastra melalui pendekatan didaktis seperti novel dan karya sastra yang lain.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Pada prinsipnya, penelitian tentang Kajian Tekstual Novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W. Berdasarkan Pendekatan Didaktis, memanfaatkan kajian secara interdisipliner. Artinya, penelitian ini dalam upaya menginterpretasi karya sastra memerlukan ilmu terapan dengan mengkaji kepustakaan yang relevan. Beberapa kajian sebagai tinjauan pustaka yang relevan, meliputi (1) tinjauan pengertian prosa fiksi, (2) tinjauan terhadap apresiasi sastra, (3) tinjauan terhadap pendekatan dalam mengapresiasi sastra, dan (4) tinjauan terhadap pendekatan didaktis dalam mengapresiasi sastra yang berupa novel.
2.2 Pengertian dan Macam Prosa Fiksi
2.2.1 Pengertian Prosa Fiksi
Prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional sehingga menjadi suatu wacana. Pengarang dalam memaparkan isi karya fiksi bisa lewat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog maupun monolog, dan (3) lakuan atau action (Aminuddin, 2004:66). Disebutkan juga bahwa bentuk-bentuk karya fiksi meliputi roman, novel, novelet, maupun cerpen.
Semua karya sastra termasuk novel, mempunyai dua unsur yang membangun, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, setting/latar, gaya, sudut pandang, suasana, dan amanat. Adapun unsur yang membangun di luar karya sastra yaitu unsur ekstrinsik meliputi : biografi pengarang, pembaca, latar proses kreatif penciptaan maupun latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra (Aminuddin, 2004:34).
2.2.2 Macam Prosa Fiksi
Aminuddin (2004:66) menyebutkan bahwa karya prosa fiksi dapat berbentuk roman, novel, novelet, dan cerpen.
2.3 Novel
2.3.1 Pengertian Novel
Novel adalah sebuah cerita prosa fiksi karya pengarang yang tercipta dengan dilandasi berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaian tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam imajinasinya; dan dihadirkan dalam bentuk paparan cerita yang panjang mengenai kehidupan manusia. Pengertian novel bila ditinjau secara harafiah, istilah novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti “barang baru yang kecil”. Novel adalah karya sastra fiksi yang panjangnya sekitar 200 halaman (Depdiknas, 2005:107; abdul Rani, 2004:85). Abdul Rani (2004:85) mengartikan novel sebagai karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa tokoh.
2.3.2 Macam Novel
Mengutip pendapat Mochtar Lubis, Henry Guntur Tarigan dalam bukunya Prinsip-Prinsip Dasar Sastra (1985:165-166) menyebutkan bahwa pemilahan jenis novel/roman berdasarkan bentuk dan genrenya dibedakan menjadi novel : (1) avontur, (2) psikologis, (3) detektif, (4) sosial, (5) politik, dan (6) kolektif.
Berdasarkan segmen konsumen pembacanya, terdapat jenis novel remaja yang menurut Nurgiantoro (dalam Depdiknas, 2005:108) adalah novel populer yakni novel yang massa pembacanya sangat banyak khususnya di kalangan remaja. Novel remaja (populer) menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman walaupun hanya sesaat/temporer atau sementara/artifisial serta tidak menggambarkan kehidupan secara intens tentang pemahaman hakikat kehidupan.
2.3.3 Unsur-Unsur Novel
Sebagai salah satu genre sastra, novel serta karya fiksi lainnya seperti cerpen, novelet, dan roman mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai isi yang berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi sehingga menjadi suatu wacana (Aminuddin, 2004:66). Unsur-unsur prosa fiksi meliputi tokoh dan penokohan, latar/setting, alur atau plot, sudut penceritaan/sudut pandang, gaya, tema, dan amanat (Abdul Rani, 2004:86; Salamah, 2001:37).
Unsur-unsur tersebut, lebih jauh ditegaskan oleh Abdul Rani (2004:86-69) berikut.
(1) Tema
Tema merupakan inti atau pokok yang menjadi dasar pengembangan cerita, yang merupakan unsur intrinsik terpenting dalam novel/cerpen. Untuk mengetahui tema novel/cerpen, pembaca harus mencermati seluruh rangkaian cerita. Tema dalam sastra bisa diangkat dari berbagai masalah kehidupan sesuai zamannya. Baik menyangkut kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecembutruan, dan sebagainya.
(2) Alur
Alur (plot) sebagai unsur intrinsik karya sastra merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Pla pengembangan cerita tidak selalu sama dalam setiap karya fiksi. Pada umumnya suatu alur (plot) cerita terbagi dalam bagian-bagian berikut.
Pengenalan situasi cerita (exposition)
Pengungkapan peristiwa (complication)
Menuju pada adanya konflik (rising action)
Puncak konflik (turning point)
Penyelesaian (ending)
Latar (setting)
Fungsi latar adalah untuk meyakinkan pembaca terhadap jalannya suatu cerita. Sehingga setiap peristiwa maupun para pelaku yang ditampilkan dalam cerita seakan-akan ada dan benar-benar terjadi. Latar meliputi tempat, waktu, suasana, dan budaya yang melingkupi cerita. Latar bisa faktual maupun imajiner.
Penokohan
Penokohan adalah suatu cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter/perwatakan para pelaku dalam cerita. Untuk menggambarkan karakter tokoh, pengarang bisa menempuh: (a) teknik analitik, yakni dengan menceritakan perwatakan tokoh secara langsung; dan (b) teknik dramatik dengan mengemukakan karakter tokoh melalui penggambaran fisik dan perilakunya, lingkungan kehidupannya, tata kebahasaannya, jalan pikirannya, serta perannya dengan tokoh lain.
Sudut Pandang (Point of view)
Adalah posisi pengarang dalam menampilkan cerita, yang terdiri dari:
pengarang berperan langsung sebagai orang pertama /”aku”tokoh yang terlibat dalam cerita,
pengarang berperan sebagai pengamat atau bertindak sebagai orang ketiga.
Amanat
Amanat merupakan suatu pesan pengarang yang dituangkan melalui karyanya, bisa menyangkut pesan moral, didaktis, dan sebagainya. Untuk mengetahui amanat, pembaca harus secara cermat mengikuti seluruh cerita sampai tuntas.
Gaya Bahasa (Majas)
Gaya bahasa dalam karya sastra merupakan daya tarik dan sebagai cara pengarang mengajuk pikiran dan emosi pembaca.
2.4 Apresiasi Karya Sastra
Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. S. Effendi dalam (Aminuddin, 2004:35) mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Kegiatan seorang apresiator dalam bedah sastra adalah seperti dikemukakan Brooks (dalam Aminuddin, 2004:39) yang membedakan dua level, yakni level objektif yang berhubungan dengan respon intelektual, dan level subjektif yang berhubungan dengan respon emosional. Sementara Aminuddin (2004:38) mengungkapkan bahwa bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator adalah (1) kepekaan emosi sehingga mampu memahami unsur-unsur keindahan di dalam cipta sastra, (2) wawasan pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman atas kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman aspek kebahasaan, dan (4) kepekaan terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang berhubungan dengan telaah teori sastra.
Pendekatan dalam mengapresiasi sastra bisa bertolak dari tujuan yang akan diapresiasi, Aminuddin (2004:40) menawarkan sejumlah pendekatan meliputi (1) pendekatan parafrastis, (2) pendekatan emotif, (3) pendekatan analitis, (4) pendekatan historis, (5) pendekatan sosiopsikologis, dan (6) pendekatan didaktis.
2.5 Nilai-Nilai dalam Karya Sastra
2.5.1 Nilai Moral
Moral, istilah ini berasal dari bahasa Latin: mores yang berarti tata cara, kebiasaan atau adat istiadat. Moralitas menunjuk ke persesuaian nilai moral atau kelompok sosial. Terbentuknya nilai-nilai moral seseorang mengikuti suatu proses perkembangan yang meliputi aspek intelektual dan dorongan hati nurani. Aspek intelektual dalam penanaman nilai moral dikembangkan melalui pendidikan Dirgagunarsa (dalam Kaswardi, 1993:181). Dan pada gilirannya, peranan sastra dalam pendidikan moral terdapat pada karya-karya sastra yang sarat muatan didaktis.
2.5.2 Nilai Didaktis
Nilai didaktis yang secara lebih luas meliputi segala aspek nilai kehidupan ini, dalam karya cipta sastra bisa dipahami melalui satuan-satuan pokok pikiran yang disarikan dari paparan gagasan pengarang atau penyair, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskriptif peristiwa. Pola berpikir penerapan nilai didaktis ini bisa dimisalkan jika Malin Kundang akhirnya harus mati celaka karena durhaka kepada ibunya, maka dalam hidupnya, seseorang hrus bersikap baik kepada orang tua (Aminuddin, 2004:48).
2.6 Tokoh dan Penokohan dalam Karya Sastra (Novel)
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelakunya, pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehinggga terjalin suatu cerita disebut dengan tokoh (Aminuddin, 2004:79). Kusdiratin (dalam Depdiknas, 2005:57) mengatakan bahwa tokoh dalam karya fiksi selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemerian watak pada tokoh suatu karya sastra oleh pengarang disebut perwatakan.
Tokoh merupakan bagian dari keutuhan artistik karya sastra yang selalu menunjang keutuhan artistik itu. Tokoh dalam karya sastra dapat digolongkan menjadi lima, yaitu (1) tokoh utama dan tokoh pembantu, (2) tokoh bulat dan tokoh datar, (3) tokoh protagonis dan tokoh antagonis, (4) tokoh sentral dan tokoh bawahan, dan (5) tokoh dinamis dan tokoh statis (Aminuddin,2004:80).
Sedangkan penokohan dalam karya sastra adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku dalam karya fiksinya. Boulton dalam (Aminuddin, 2004:79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokoh dalam karya fiksi dapat bermacam-macam, seperti tokoh pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang gigih dalam perjuangan hidupnya, pelaku yang selalu bersikap realistis, pelaku yang egois. Para pelaku bisa berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya perilaku binatang.
2.7 Kajian Tekstual dalam Karya Sastra (Novel)
Kajian tekstual dalam karya sastra fiksi termasuk novel adalah telaah berdasarkan struktur lahir (penanda formal) terhadap karya sastra. Pada umumnya, pendekatan yang diterapkan dalam emngapresiasi sastra adalah secara enklitik yaitu pendekatan yang satu mungkin saja digunakan secara bersamaan dengan pendekatan yang lain. Penerapan pendekatan secara enklitik sesuai dengan kompleksitas aspek maupun karakteristik cipta sastra itu sendiri. Pendekatan tersebut meliputi (1) pendekatan parafrastis, (2) pendekatan emotif, (3) pendekatan analitis, (4) pendekatan historis, (5) pendekatan sosiopsikologis, dan (6) pendekatan didaktis (Aminuddin, 2004:40-49).
2.8 Pendekatan Didaktis terhadap Karya Sastra (Novel)
Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang dilakukan oleh pembaca yang berusaha menemukan pemahaman gagasan, tanggapan dan sikap evaluatif si pengarang terhadap kehidupan yang mencakup bagaimana pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga mampu memperkaya kehidupan ruhaniah pembacanya (Aminuddin, 2004:47). Hal ini dikarenakan pembaca dalam mengapresiasi karya sastra melalui ragam membaca estetis, membaca kritis, dan membaca kreatif (Aminuddin, 2004:30-31) akan selalu mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks sastra sehingga nilai-nilai kehidupan yang didapatnya dengan mengakrabi sastra akan lebih mengendap pada aspek kejiwaannya serta lebih menikmatkan batinnya (Aminuddin, 2004:48).
2.9 Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah suatu kajian yang bersifat tekstual terhadap aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Sebagaimana wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam dunia sastra, psikologi sastra juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan estetis. Karya sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa/emosi Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:88-91).
Karya sastra yang dapat dijadikan bahan kajian melalui pendekatan secara psikologis adalah karya-karya sastra yang mengembangkan kejiwaan tokoh-tokohnya, yakni karya prosa dan drama. Lebih jauh ditandaskan bahwa pendekatan tekstual dalam psikologi sastra yang bertumpu pada pendekatan psikologi dalam (pendekatan ekspresif dan pendekatan pragmatis), kemudian berkembang melalui pendekatan-pendekatan psikologi yang lain seperti pendekatan kognitif, behavioral, ghanzeid, dan pendekatan eksistensial, Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:94).
Penerapan pendekatan behavioral dalam studi psikologi sastra, harus dilakukan dengan mengikuti tahapan berikut.
Mencari dan menentukan tokoh cerita yang akan dikaji;
Menelusuri perkembangan karakter sang tokoh yang dikaji, terhadap (a) lakuan sang tokoh, (b) dialog sang tokoh, dan (c) pikiran sang tokoh;
Mengidentifikasi macam-macam perilaku sang tokoh dan mendeskripsikan serta mengklasifikasikannya;
Mengidentifikasi lingkungan yang telah membentuk perilaku sang tokoh;
Menghubungkan perilaku yang muncul dengan lingkungan yang melatarinya Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:97).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi
Dalam suatu
penelitian ilmiah, metodologi menempati peranan yang sangat penting sesuai
dengan obyek penelitian.
Yang dimaksudkan
dengan metodologi di sini adalah kerangka teoritis yang dipergunakan oleh
penulis untuk menganalisa, mengerjakan, atau mengatasi masalah yang dihadapi
itu. Kerangka teoritis atau kerangka ilmiah merupakan metode-metode ilmiah yang
akan diterapkan dalam pelaksanaan tugas itu
(Keraf, 2001:310).
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara untuk mengungkapkan atau menganalisa suatu permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, penulis memerlukan metode. Metode merupakan cara kerja yang harus ditempuh dalam suatu penelitian ilmiah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Metode ini bertolak dari asumsi bahwa setiap hasil karya sastra diciptakan oleh pengarangnya dengan menggunakan gaya bahasa khas yang dimiliki si pengarang, tentu mempunyai maksud untuk melukiskan sesuatu dari kehidupan ini. Metode ini dipilih untuk memberi gambaran secara obyektif dan secermat mungkin mengenai gagasan secara tekstual yang ditampilkan pengarang dalam novelnya, yang sarat muatan nilai-nilai dikdatis sebagai pesan amanat (message) pengarang dalam menyikapi makna hidup dan kehidupan ini.
3.3 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W. yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2004. Alasan pemilihan novel tersebut didasari oleh keinginan memahami gagasan pengarang, pandangan etis, pandangan filosofis, dan pandangan agamis sang pengarang yang tersirat dalam karyanya sebagai pesan amanat pengarang dalam upaya didaktis terhadap kehidupan ini.
3.4 Data
Data dalam penelitian ini berupa fakta tekstual karya sastra berbentuk novel yang dijadikan bahan untuk mencapai tujuan penelitian. Wujud data berupa paparan bahasa tekstual sastra dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W. Sejalan dengan penelitian deskriptif kualitatif, maka data penelitian ini berupa data tekstual tentang gambaran karakteristik tokoh utama beserta keteladanan nilai didaktisnya yang tercermin dalam novel tersebut, Lexy Moleong (dalam Katmiatun, 2002:25).
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan sebagai alat pengumpul data berupa pedoman dokumentasi yang berbentuk format tabel sesuai dengan indikator kebutuhan penelitian. Hal ini didasarkan pada pendapat Suharsimi Arikunto (dalam Katmiatun, 2002:26) yang menyatakan bahwa instrumen yang digunakan untuk penelitian dokumentatif dapat berupa pedoman dokumentasi. Adapun bentuk pedoman dokumentasi data dalam penelitian ini seperti pada tebel berikut.
Tabel 3.1
INSTRUMEN PENELITIAN
No
|
INDIKATOR
|
URAIAN DATA TEKSTUAL
|
KODE DATA
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.6Teknik Penelitian
3.5.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik dokumentasi dengan cara
pencatatan, pengidentifikasian, pengklasifikasian data yang berupa paparan
bahasa yang mencerminkan karakteristik dan keteladanan nilai didaktis
tokoh-tokoh utama dalam novel Matahari di
Batas Cakrawala karya Mira W.
3.5.2 Teknik Penyusunan Data
Data
yang sudah terkumpul kemudian dimasukkan ke dalam format data yang disusun dengan
menggunakan instrumen data penelitian yang berupa tabel-tabel
sebagaimana di atas, yang digunakan untuk menjaring data yang diperlukan.
3.5.3 Teknik Analisis Data
Teknik
analisis data ditempuh melalui penggunaan instrumen data penelitian yang berupa
tabel-tabel yang digunakan untuk menjaring data yang diperlukan. Data yang
terkumpul dianalisis melalui langkah-langkah pengidentifikasian dan
pengklasifikasian sampai penyimpulan. Dengan kata lain, data dianalisis melalui
kegiatan mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan memverifikasi/penarikan
kesimpulan data penelitian.
3.6 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan
melalui tiga tahapan berikut.
3.6.1 Tahap Persiapan
Dimulai
dari merumuskan tujuan penelitian, merumuskan
gambaran kerja, membuat desain dengan membuat pedoman kerja hingga
menemukan kemantapan desain penelitian.
3.6.2 Tahap Pelaksanaan
Berupa
telaah pustaka, pengumpulan data, analisis data, sampai penyimpulan yang
kesemuanya masih dalam bentuk draf/naskah kasar.
3.6.3 Tahap Penyelesaian
Dari draf
hasil penelitian dilanjutkan langkah-langkah penyusunan draf menjadi naskah
semifinal, penyusunan dan pengajuan proposal penelitian, menerima arahan
pembimbingan kemudian pengetikan/komputerisasi setelah melalui revisi,
penyusunan naskah final dan penggandaan laporan hasil penelitian hingga
pengujian laporan hasil penelitian (skripsi).
BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
4.1 Pengantar
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada tujuan penelitian ini yaitu
mendeskripsikan : (1) pelaku tokoh utama, (2) perwatakan tokoh utama, (3) sikap
tokoh utama dalam menghadapi cobaan Tuhan, dan (4) nilai didaktis yang dapat
dijadikan pelajaran dari gambaran pribadi tokoh utama, maka pada bab ini
dipaparkan hasil penelitian untuk mengetahui gambaran umum pelaku tokoh
utamanya dengan menyajikan terlebih dahulu sinopsis novel “Matahari Di Batas Cakrawala” karya Mira W.
4.2
Ringkasan Cerita (Sinopsis)
Novel “Matahari Di Batas
Cakrawala” karya Mira W. terdiri atas 9 bagian. Adapun ringkasan ceritanya
adalah sebagai berikut ini.
Wita, gadis berparas cantik
sehingga banyak lelaki yang tergila-gila padanya. Sewaktu duduk di bangku SMA,
banyak lelaki yang mencintainya, mulai dari Erik, Rinaldi, Darius, dan Effendi.
Jika Wita merasa bosan berpacaran dengan Erik, Rinaldi sudah menunggu. Bosan
dengan Rinaldi, maka pemuda Darius sudah menunggu. Pokoknya, ia tinggal pilih
dengan siapa saja lelaki yang akan ia kencani.
Suatu ketika, peristiwa besar terjadi pada
saat ayah dan ibu Wita tidak berada di rumah. Wita dan Darius yang pada saat
itu sedang dalam hubungan berpacaran, melakukan hubungan bersebadan. Selang
beberapa bulan Wita tidak datang bulan. Ia pun mulai gelisah, takut jika ia
mengandung. Akhirnya, kegelisahan Wita pun terjadi, ia positif mengandung.
Lalu, ia pun meminta pertanggungjawaban kepada Darius, agar mau
bertanggungjawab menjadi ayah dari anak yang dikandungnya. Namun, Darius malah
melarikan diri ke medan. Maklum ia belum bekerja dan memang dasar Darius yang
pengecut tak mau bertanggungjawab atas perbuatannya.
Ditengah kegelisahan yang semakin
mendalam, ditambah dengan rasa takut, jika kedua orang tuanya tahu yang
berdampak ia tak dianggap anak, sebab telah mencemarkan nama baik keluarga.
Kegelisahan tersebut akhirnya menyeret Wita untuk melakukan hal yang tidak
biasanya. Misalnya, setiap pagi ia rajin mengepel rumah, bersih-bersih.
Padahal, biasanya ia adalah wanita yang sangat malas. Perbuatan mengepel,
bersih-bersih, merupakan bagian dari triknya untuk mengugurkan kandungannya.
Namun, hal tersebut sia-sia saja, perutnya semakin membesar. Meskipun begitu,
ia belum pasrah untuk mengugurkan kandungannya. Setiap hari ia berolahraga,
senam, dan minum jamu, agar si bayi yang dikandungnya bisa gugur. Namun,
keinginannya tidak terpenuhi karena bayi yang berada dikandungannya semakin
membesar.
Kegelisahan yang melanda
wita sampai pada puncaknya. Ia meminum
shampo dengan maksud melakukan bunuh diri, karena tidak kuat menanggung aib.
Usaha bunuh diri Wita pun ternyata sia-sia. Ia berhasil diselamatkan. Ia dirawat
di sebuah rumah sakit. Disitulah ia berjumpa dengan koasisten, mahasiswa
pemrogram mata kuliah klinik di rumah sakit. Irwan namanya, sosok pria yang
potongan rambutnya pendek, disisir rapi, persis seperti dokter-dokter klasik.
Semula, Wita tidak suka pada Irwan. Hal
ini disebabkan karena Irwan dan juga Dokter Rizal, yang diminta untuk
menggugurkan bayi yang berada di dalam kandungannya menolak dengan tegas dengan
alasan bahwa hal tersebut bertentangan dengan etika dan dilarang oleh agama
manapun. Namun, lama-kelamaan ia menaruh hati pada Irwan. Hal ini disebabkan
Irwan adalah sosok yang baik hati, sabar, dan ramah tamah. Sepulang dari rumah
sakit, Wita menggugurkan kandungannya melalui dukun. Setelah pengguguran bayi
tersebut, ia pun merasa agak tenang, ia menikah dengan Irwan. Namun, pernikahan
tersebut tidak disetujui oleh kedua orangtuanya. Hal ini disebabkan Irwan masih
belum sepenuhnya bekerja dan gajinya cuma sedikit. Irwan pada waktu itu bekerja
sebagai salesman. Jadi, hasilnya hanya cukup untuk membiayai kuliahnya sendiri.
Walaupun begitu, Wita tetap mencintai Irwan, meski kedua orang tuanya tidak
menyetujui pernikahan mereka. Bagi Wita, kini yang dicari bukanlah kekayaan,
melainkan kesetiaan, kebaikan, dan keramahan.
Selang beberapa lama
menikah, Wita pun mengandung. Kali ini, kandungan yang benar-benar diharapkan
Wita, berbeda dengan kandungan yang dulu, sewaktu dengan Darius, itu bukan
kandungan yang diharapkan, saat itu, Irwan, suami Wita, sudah lulus menjadi
dokter. Ia ditempatkan di sebuah desa yang sangat terpencil, di daerah Sumatra.
Semula, Irwan hendak mengajak Wita ke Sumatra. Namun hal diluar dugaan terjadi.
Desa terpencil yang ada di Sumatra tersebut benar-benar terpencil. Penghuninya
sedikit dan listrik pun tidak ada. Selain itu, rumah dinas bagi dokter dan
puskesmas untuk berdinas belum dibangun. Berdasarkan info yang diterima,
sekitar enam bulan lagi, rumah dinas dan rumah sakit akan dibangun di sana.
Berdasarkan hal tersebut akhirnya disepakati yang berangkat ke Sumatra adalah
Irwan. Namun, Wita ngotot untuk mengikutinya pergi ke Sumatra. Hingga kemudian
di sana, sang bayi yang diidam-idamkan oleh Wita ternyata lahir. Bayi perempuan, yang diberi nama Nike.
Di sisi lain, Irwan yang
menjadi seorang dokter yang ditugaskan di daerah kecamatan ternyata mengalami
masalah, ia menggugurkan kandungan seorang wanita, Aisyah namanya, anak seorang
camat. Bagi Wita, perbuatan yang dilakukan oleh Irwan, merupakan hal yang
mustahil, sebab tujuh tahun yang lalu, sewaktu ia meminta agar Irwan
menggugurkan kandungannya, ia malah menolak dengan tegas. Namun, sekarang, pada
saat menjadi dokter, Irwan malah tega membunuh janin yang tidak berdosa.
Pikiran negatif pun muncul dalam otak Wita. Ia mengira bahwa bayi yang
digugurkan oleh Irwan, adalah bayi hasil hubungan gelap antara Irwan dan Aisyah.
Akhirnya, antara Wita dan Irwan saling tidak menyapa. Irwan dibiarkan saja
terdiam di dalam rumah. Jenuh dengan kediaman tersebut, akhirnya Irwan pun
menyapa Wita dan mengatakan bahwa antara dia dengan Aisyah tidak ada hubungan
apa-apa.
Irwan pun mengakui bahwa ia
pernah melakukan adegan ciuman dengan Aisyah. Namun, adegan yang lebih jauh
dari itu tidak ada. Mendengar penjelasan dari Irwan, Wita memang agak reda
kemarahannya. Ia pun tersadar bahwa dirinya pun bukanlah seorang wanita yang
suci. Ia sudah tidak perawan ketika menikah dengan Irwan.
Suatu ketika, Aisyah datang
ke rumah Wita. Aisyah menjelaskan secara gamblang bahwa Irwan adalah sosok yang
baik. Mendengar penjelasan itu Wita semakin bingung. Aisyah pun menjelaskan
lagi bahwa yang membuat dirinya mengandung adalah pamannya sendiri, Hamid.
Pamannya tersebut telah merenggut kehormatan dirinya. Hingga selang beberapa
bulan, Aisyah telat haid, perutnya pun mulai membengkak. Lama-kelamaan ia pun
takut aibnya terbongkar. Ia meminta dokter Irwan untuk menggugurkan
kandungannya. Dan, Irwan pun tidak menolak.
Irwan akhirnya dipenjara
selama tujuh tahun. Dengan tuduhan bahwa ia telah menggugurkan kandungan
seorang wanita yang hal tersebut bertentangan dengan kode etik kedokteran. Ia
pun menerima tuduhan tersebut dengan hati yang ikhlas. Walaupun sebenarnya yang
bersalah adalah paman Aisyah, yang telah memperkosa Aisyah.
Nike, anak Wita, tumbuh
menjadi seorang anak kecil yang mungil. Pada suatu ketika, Nike sakit. Pada
mulanya hanya flu biasa. Panas lesu. Ditambah sakit kepala. Ia tidak mau makan.
Tidak mau minum. Tiba-tiba Nike muntah-muntah. Melihat hal tersebut, Wita
membawanya ke klinik dan setelah diperiksa, Nike dinyatakan terkena polio.
Pernyataan sang dokter tersebut bagaikan petir yang menyambar dadanya.
Bagaimana mungkin, anaknya terkena polio. Sejenak ia tidak mampu berkata
apa-apa. Gema dokter yang mengatakan bahwa anaknya terkena polio masih saja
bergaung ditelinganya. Ia teringat akan tetangganya yang kakinya cacat sebelah.
Timpang. Ia tak pernah menertawakan akan tetangganya tersebut. Tapi, anaknya
pun mengalami hal yang sama seperti itu. Kesedihan demi kesedihan semakin
menutupi wajahnya yang cantik. Kini, yang ada di dalam diri Wita hanyalah
kemurungan, memikirkan anaknya yang semata wayang.
Kala kemuramdurjaan melanda
dirinya, dokter mengusulkan agar Wita membawanya ke rumah sakit. Usulan itu pun
akhirnya diterima oleh Wita, ia memberangkatkan anaknya ke rumah sakit.
Perjalanan ke rumah sakit tersebut amatlah susah. Di rumah sakit tersebut, Nike
mendapatkan perawatan yang agak intensif, hingga akhirnya Nike diperkenankan
pulang. Di rumah, Nike berangsur-angsur sehat. Kakinya yang sebelah kiri, yang
semula bengkok, mulai berangsur-angsur pulih kembali. Dia mulai rajin berjalan
dan tidak rewel. Akan tetapi, suatu hari Nike mulai panas kembali dan berbagai
obat-obatan penurun panas tidak berhasil menyembuhkannya, ia baru teringat
pesan yang diberikan oleh dokter Mochtar yang mengatakan bahwa Nike harus di
bawa lagi ke rumah sakit untuk diperiksa ulang.
Suatu malam, karena sakit
mendadak yang diderita oleh Nike, sehingga awalnya dianggap sakit mimisan biasa
oleh Wita, namun setelah keesokan harinya didapatinya Nike muntah darah yang
berwarna hitam, akhirnya Wita segera membawanya ke rumah sakit tempat Nike
pernah dirawat. Melalui jalur sungai yang semula sudah penuh penumpang, namun
dengan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah sehingga si pemilik perahu mau
menurunkan penumpang lain sehingga Wita bisa membawa anaknya sampai ke rumah
sakit.
Nike langsung dirawat dan
diberi infus. Namun yang mengejutkan Wita adalah pernyataan dokter Mochtar yang
menjelaskan bahwa Nike terserang leukemia dan kemungkinan tidak bisa berumur
panjang. Betapa Wita menjerit dan memohon kepada Tuhan agar anaknya bisa disembuhkan
dan kembali sehat wal afiat seperti sediakala, namun problem lain menyusul.
Seorang perawat mengatakan bahwa persediaan darah untuk Nike telah habis.
Meskipun Wita rela mendonorkan darahnya untuk anaknya, tetapi jenis golongan
darah Wita adalah O dan tidak memungkinkan untuk ditransfusikan ke tubuh Nike
yang memiliki golongan darah A. Kebetulan di ruang operasi sebelah ada wanita
istrinya Bachtiar, yang sedang menjalani operasi dan mengalami pendarahan
sehingga membutuhkan golongan darah O yang persediaannya juga telah habis
sedangkan suaminya, Bachtiar golongan darahnya A. Maka atas ide Wita yang rela
mendonorkan darahnya kepada istri Bachtiar dengan syarat Bachtiar juga
mendonorkan darahnya untuk Nike, sehingga Nike mendapat donor darah dari Bachtiar,
meskipun setelah itu istri Bachtiar keburu meninggal dunia sebelum Wita sempat
mendonorkan darahnya.
Tak berlangsung lama, darah
yang didonorkan ke tubuh Nike akhirnya habis. Pada detik-detik sebelum sang
maut datang menjemput, Irwan datang dan memeluk tubuh Nike. Setelah itu,
kematian merenggut nyawa Nike. Wita dan Irwan begitu terpukul atas kematian
Nike. Bahkan, Wita sering melamun membayangkan keceriaan Nike yang sedang
bermain, tertawa dan bercanda dengan dirinya. Kesedihan Wita inilah sehingga Irwan
mengusulkan untuk mengadopsi anak. Wita setuju, maka mereka segera mengadopsi
seorang anak perempuan yang diberi nama Nita, sehingga lambat laun perasaan
kesedihan Wita dapat tersembuhkan oleh adanya Nita di samping mereka.
4.3
Deskripsi Temuan Data Tekstual Tokoh Utama
Setelah membaca dan memahami novel “Matahari Di Batas Cakrawala” karya Mira
W. serta setelah disusun ringkasan ceritanya (sinopsis), dapat diidentifikasi
dan dideskripsikan bahwa yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut adalah
Wita. Sedangkan Irwan (suami Wita) dan Nike (putri Wita) dikategorikan sebagai
tokoh pembantu yang mendukung struktur cerita. Dengan sudut penceritaan “akuan”
yaitu pengarang memosisikan dirinya sebagai “aku” tokoh yakni tokoh utama dan
seakan terlibat masuk di dalam cerita. Menggunakan setting cerita secara
geografis di suatu daerah terpencil yang belum termaktub dalam peta, lalu di
suatu rumah sakit di kota yang berjarak empat puluh kilometer dari kevcamatan
terpencil tersebut (pengarang tidak menyebutkan nama kota dan nama kecamatan),
lalu juga di Jakarta. Latar cerita lebih memfokuskan pada setting tempat di
rumah orang tua Wita, di rumah tempat tinggal Wita bersama dokter Irwan,
suaminya di kecamatan terpencil tersebut, dan di rumah sakit tempat Nike di rawat.
Setting lebih menekankan aspek sosial-psikologis karakter dan perilaku tokoh
utama. Alur cerita dibuat bervariatif kadang alur maju dan diselingi dengan
alur mundur, menceritakan kekinian kemudian diselingi flashback kembali ke masa lalu, balik lagi melanjutkan alur
kekinian hingga ending yang diakhiri dengan kisah tragis dan memilukan namun
segera ditutup happy ending agar
pembaca tidak larut berkepanjangan dalam kesedihan.
4.4
Deskripsi Perwatakan dan Perilaku Tokoh Utama
Watak (karakter) tokoh utama pada
novel “Matahari Di Batas Cakrawala” karya Mira W. pada paparan hasil kajian
diberi pengkodean MdBC/Mira W. bagian/
halaman. Setelah melalui kajian tekstual secara cermat, hasil
penelitian dideskripsikan dan
disimpulkan dalam alur maju berikut ini.
4.4.1 Watak dan Perilaku
Tokoh Utama (Wita) di masa remajanya
Wita memiliki perilaku dan temperamen
yang keras, binal, ingin bergaul bebas, tetapi gegabah dalam bertindak sehingga
dari watak dan perilaku yang demikian, cerita ini berpangkal. Beberapa temuan data
tekstual yang menegaskan akan hal tersebut dikutip dan dirangkum berasal dari
bagian kedua dan ketiga dari isi novel yaitu sebagai berikut.
a)
Tokoh Utama (Wita) mempunyai latar
masa remaja (masa SMA) yang karena kecantikannya sehingga suka bergaul bebas
dalam hal berpacaran. Hal ini dipaparkan dari data tekstual berikut ini.
Orang
bilang, aku cantik. Menarik. Merangsang. Dan ah, entah apa lagi. Dalam usia
yang baru tujuh belas ini, pemuda mana pun yang kuinginkan, kuperoleh semudah
menjentikkan jari. Erik, Rinaldi, Darius, siapa saja. Tinggal pilih. (MdBC/Mira W. 2/16)
Bosan sama
Erik, Rinaldi sudah menunggu. Hari ini Rinaldi, besok Darius. Darius lagi
“bokek”, panggil Harjo. Harjo konyol sedikit saja, tendang. Ganti Effendi.
Pendeknya dari Sabang sampai Merauke. Kelas II Pas sampai II Sos. Tinggal
pilih. (MdBC/Mira W. 2/16)
b)
Indikator akibat pergaulan bebas
tokoh utama (Wita) lalu bertindak ceroboh dan gegabah dalam berpacaran sehingga
berdampak kesulitan hidup di masa depan. Sebenarnya bermuara dari inilah, novel
ini bercerita. Beberapa temuan data tekstual dirangkai berikut ini.
Ah, aku
memang tolol! Tolol! Kalau tidak, masakan begitu gampang kuserahkan mahkotaku
yang paling mahal kepada seorang pemuda seperti Darius!
(MdBC/Mira W. 2/16)
…Dan
itulah kesalahanku yang pertama. Kukira pemuda yang alim seperti dia tidak
berbahaya. Tahu-tahu musang berbulu ayam. (MdBC/Mira
W. 2/17)
Ah,
sudahlah. Entah siapa yang mulai lebih dulu. Pokoknya siang itu, di sofa ruang
tamu rumahku, Darius merampas kegadisanku. (MdBC/Mira
W. 2/18)
c)
Indikator bahwa akibat pergaulan
bebas Tokoh Utama (Wita) akhirnya hamil di luar nikah. Tapi, penyesalan
kemudian tiada berguna. Hal ini bisa dikutip dari temuan berikut.
Hasilnya positif. Tak ada keraguan lagi. Ada bayi di rahimlu. Bayi Darius.
Bayi tanpa ayah. Anak haram! (MdBC/Mira
W. 2/18)
Duh, lebih baik aku mati dari pada menanggung malu begini. Aku belum
ingin punya anak. Apalagi anak haram. Harus dikemanakan muka ini? Harus
kukemanakan kebanggaan orangtuaku? Mereka begitu mengasihi aku. inikah yang
kulakukan untuk membalas kasih sayang mereka? (MdBC/Mira W. 2/25)
Oh, sungguh sial jadi wanita! Seorang laki-laki boleh berbuat kesalahan
seratus kali. Tidak ada yang menuntutnya. Tidak ada yang bisa menghukumnya.
Tapi wanita? Sekali salah saja langsung dihukum! Tidak adil. Curang. Tetapi
memang percuma marah-marah sendiri… (MdBC/Mira
W. 2/26)
d)
Tokoh utama (Wita) berupaya
meminta pertolongan dokter untuk abortus (menggugurkan kandungan), namun hal
ini ditolak. Perhatikan temuan berikut.
“Dokter dididik untuk menyambung kehidupan manusia, Wita. Bukan
memusnahkannya. Maaf, saya tidak dapat.” (MdBC/Mira
W. 2/26)
e)
Tokoh utama (Wita) berpikiran
kalut dan nekad menggugurkan kandungan kepada dukun, walaupun pada saat itu ia
mulai mendapat simpati dari dokter Irwan.
…Dia sangat bersimpati padaku.
Tapi simpati saja buat apa? Aku perlu bantuan. Bukan hanya simpati. Bukan hanya
nasihat. (MdBC/Mira W. 2/28)
Dan karena bantuan itu tak
dapat kuperoleh dari tempat lain lagi, terpaksa aku pergi ke tempat satu-satunya
yang mau menolongku.
Entah setan mana yang
membisikkan nama tempat itu padaku. Entah iblis apa yang menunjukkan jalannya.
Tanpa diminta dua kali, dukun itu melakukan apa yang kuinginkan. (MdBC/Mira W. 2/28)
4.4.2 Watak dan Perilaku
Tokoh Utama (Wita) terhadap Tokoh Irwan
a) Pada mulanya, Wita tidak pernah
menyangka kalau kelak akan jadi istri dokter Irwan. Tapi perhatian khusus dari
koasisten dokter ini lama-lama membuat Wita tak berdaya sehingga bersedia
menikah dengan dokter Irwan. Hal ini tampak
pada rangkaian temuan data tekstual berikut.
Saat itu, jangankan
jatuh cinta pada pandangan pertama, tertarik saja tidak. Ada dua alasan yang
menyebabkannya. Aku sedang dalam keadaan gawat. Dan sikap Mas Irwan yang sangat
tidak simpatik. (MdBC/Mira W. 2/14)
Sesaat,
kami jadi sama-sama menghindar. Dan sama salah tingkah. Jantungku, entah
mengapa, berdebar dua kali lebih keras. (MdBC/Mira
W. 2/20)
Orangtuaku tidak menyetujui
perkawinanku dengan Mas Irwan. Saat itu dia masih kuliah. …
“Salahkah mengawini seorang
laki-laki seperti Irwan, Ayah?” bantahku tegas. Dari dulu, aku memang tidak
bisa dilarang. Melarangku sama sia-sianya melarang matahari terbit. “Dia tahu
perempuan macam apa aku ini, tapi dia toh melamarku!” (MdBC/Mira W. 3/33-34)
b)
Tokoh Utama (Wita) menyadari dirinya sehingga meminta alasan apa yang membuat
Irwan melamarnya.
“Cintamu,” bisiknya mesra,
ketika kuajukanpertanyaan itu pada saat ia melamarku.
“Buat apa cinta tanpa anak?”
(sebab Wita menyadari setelah pernah
menggugurkan kandungan lewat dukun dengan penanganan non medis bisa berdampak
berbahaya bila rahimnya mengandung lagi)
‘Buat apa anak tanpa cinta?”
Sekali lagi aku mati
langkah. Menyindir atau tidak, dia toh telah berhasil menyudutkanku dengan
pertanyaan itu.
Dia benar. Anak yang lahir
tanpa cinta seperti bunga yang tumbuh di atas batu. Gersang. Tapi aku pun
benar. Perkawinan tanpa anak, ibarat pohon tanpa bunga. Sia-sia. Dan
membosankan.
“Bersamaku, akan kubuat kau
tidak mengerti artinya bosan,” katanya sambil meraihku ke dalam pelukannya.
Kalau ada sesuatu yang
paling kukagumi dalam diri Mas Irwan, itulah keyakinannya. Keteguhannya. Dan
kepercayaannya kepada dirinya sendiri.
Apa yang dikehendaki,
diperjuangkannya mati-matian sampai menjadi miliknya. Dan sesudah menjadi
miliknya, dia akan membuatmu tidak pernah bosan dimiliki dan dimiliki lagi. (MdBC/Mira W. 3/34-35)
f)
Tokoh Utama (Wita) lebih disayangi tokoh Irwan
daripada bayi mereka berdua.
“Siapa bilang aku menakut-nakutimu? Kalau
kandunganmu ternyata membahayakan jiwamu, aku lebih baik tidak punya anak!”
“Mas!” teriakku sedih. “Jangan ngomong
begitu, Mas! Aku tidak mau kehilangan bayiku lagi! Yang ini bayi kita, mas.
Anakmu. Anak Kita.”
“Tapi aku lebih tidak mau lagi kehilanganmu,
Wita. Kau adalah segala-galanya bagiku.” (MdBC/Mira
W.3/46)
g)
Dalam kehidupan berumah tangga, tentu pernah terjadi
kecemburuan. Perilaku tokoh utama (Wita) terhadap tokoh Irwan (suaminya) dalam
hal ini dipaparkan melalui temuan data tekstual berikut ini.
Ya, apa
lagi yang mesti kukatakan! Kalau aku jijik pada bibirnya yang telah pernah
dicium Aisah, seharusnya dia pun jijik pada tubuhku yang telah pernah dijamah
Darius!
…Dan
seperti sikapnya yang tak pernah mengungkit-ungkit hubunganku dengan darius,
aku juga tak mau mengingat-ingat lagi kesalahannya bersama Aisah.
Mulai
hari ini, aku akan menjaganya baik-baik. Takkan kutinggalkan dia sekejap pun.…
Tidak
rela kubiarkan Mas Irwan sendirian di rumah. Dia milikku. Harus kupertahankan
mati-matian. Takkan kuberi si Aisah kesempatan sekali lagi! (MdBC/Mira W.5/67-68)
4.4.3 Watak dan Perilaku
Tokoh Utama (Wita) terhadap Tokoh Nike
a)
Tokoh utama amat sangat menyayangi Nike, putri
satu-satunya yang dalam kondisi sakit.
Ya, Tuhan! Betapa berat
cobaan-Mu! Ingin rasanya aku menggantikan Nike. Kalau harus menderita, biar aku
saja yang sengsara, jangan anakku!
(MdBC/Mira W.8/101)
“Obat itu tidak menyembuhkan Nike. Hanya
memperpanjang hidupnya….”
Tidak menyembuhkan! Hanya
memperpanjang hidupnya! Memperpanjang penderitaannya? Oh, Tuhan! Obat apa itu!
Obat apa! Sakit apa dia? (MdBC/Mira
W.8/103)
“Leukemia.”
Leukemia! Alangkah kejamnya!
Alangkah kejamnya! Nike baru berumur empat tahun! Dan dia anakku satu-satunya! (MdBC/Mira W.8/104-105)
“Jangan pergi dulu, Nike! Tunggu Papa!”
Kuhitung napasnya yang tinggal satu-satu.
Oh, Tuhan! Napas yang hangat itu! Napas gadis kecilku yang setiap malam
menggelitiki leherku! Dia hampir tidak ada lagi! Dia hampir tidak bernapas!
Kuciumi pipinya. Matanya,
hidungnya. Ketika kucium mulutnya, aku sadar, Nike telah berangkat. Dia telah
pergi. Malaikat-malaikat telah menggandengnya ke surga. (MdBC/Mira W.9/122)
4.4.4 Watak dan Perilaku
Tokoh Utama (Wita) terhadap Orang Tuanya
a) Tokoh utama (Wita)
merasakan ibunya sangat mengasihi dirinya.
Kalau ingat ibu, mataku selalu terasa panas
kembali. Ibu begitu mengasihiku. Begitu membanggakan aku. apa katanya kalau
beliau tahu apa yang telah kulakukan? (MdBC/Mira
W. 2/24-25)
b) Namun terhadap
ayahnya, Wita sulit dicegah, meskipun ayahnya bersikap moderat dan pasrah.
“Salahkah mengawini seorang laki-laki seperti
Irwan, Ayah?” bantahku tegas. Dari dulu, aku memang tidak bisa dilarang.
Melarangku sama sia-sianya melarang matahari terbit. “Dia tahu perempuan macam
apa aku ini, tapi dia toh melamarku!” (MdBC/Mira
W. 3/33-34)
“Kau telah memilihnya menjadi suamimu,”
kata Ayah hari itu, ketika aku melarikan diri dari tempat ini. “Sekarang kau
harus konsekwen mendampinginya sebagai istrinya. Jangan mau enaknya saja.
Ketika datang kesusahan lantas kabur ke rumah orangtuamu.” (MdBC/Mira W.7/91)
Ayah benar. Walaupun Ayah tidak
menyukai pilihanku, ia menghormati hakku untuk memilih. Dan setelah aku bebas
memilih, Ayah ingin mengajarkan untuk mempertanggungjawabkan pilihanku sendiri.
Nasihat Ayah itulah akhirnya yang
mengantarkan aku kembali ke sisi Mas
Irwan. Bersama-sama menentang badai yang tengah mengombang-ambingkan biduk
kehidupan kami. … (MdBC/Mira W.7/91-92)
4.4.5 Watak dan Perilaku
Tokoh Utama (Wita) terhadap Tokoh-tokoh lain
a)
Perilaku apresiatif tokoh utama (Wita) terhadap para
dokter yang merawat Nike putrinya. Hal ini bisa dilihat pada temuan data
tekstual berikut ini.
Lalu Dokter Tardi akan mulai berjuang
menghidupkan bayiku…. Oh, besar jasa dokter-dolter yang bekerja demi
kemanusiaan ini! Menyelamatkan nyawa demi nyawa yang dipercayakan Tuhan kepada
mereka…. (MdBC/Mira W.6/85)
b)
Perilaku tokoh utama (Wita) terhadap tokoh Bakhtiar,
oarang yang kehilangan istrinya namun tetap menepati janjinya mendonorkan
darahnya untuk Nike putrinya Wita.
“Bakhtiar menepati janjinya padamu.
Setelah saya ceritakan tentang Nike, dia rela menyumbangkan darahnya.”
O, seandainya aku mendapat undian sekalipun,
tidak segirang ini hatiku!
Bergegas aku menuju ke bagian
kebidanan. Ingin kutemui laki-laki berjiwa besar itu. Mengucapkan terima kasih
padanya. Tepi sesampainya di sana, ia telah pergi.
Aku hanya sempat melihat
ekor mobil jenazah yang membawa jenazah istrinya sedang meninggalkan rumah
sakit….
Ya, Tuhan! Kuatkanlah iman laki-laki yang
budiman itu.! Tabahkanlah dia! (MdBC/Mira
W.8/113)
4.5
Sikap Tokoh Utama dalam Menghadapi Cobaan Tuhan
a)
Akibat kecerobohannya sendiri pernah menggugurkan kandungan dengan proses
abortus lewat jasa dukun, Tokoh Utama (Wita) bisa mengalami kemandulan.
Mandul! Ya Tuhan! Itulah
hukuman yang Kau jatuhkan padaku? Aku tak pernah jadi ibu lagi? Aku tak Kauperkenankan
mempunyai anak lagi karena telah kusia-siakan anak yang Kaupercayakan padaku? (MdBC/Mira W. 2/30-31)
b)
Tokoh utama (Wita) sangat sabar dan setia mendampingi suaminya bertugas di
daerah terpencil.
…Meskipun Mas Irwan belum
ditarik juga ke Jakarta, padahal sudah empat tahun dia bertugas di pedalaman
sini, dia tidak pernah mengeluh. Hidup yang sulit dalam pengabdiannya sebagai
dokter yang ditempatkan di daerah terpencil, tidak mematahkan semangatnya.
Aku sendiri sudah pasrah.
Lama-lama jadi betah juga tinggal di kampung yang sepi ini….
Tetapi sebulan yang lalu,
musibah datang menimpa Mas Irwan. Dan selagi kemelut yang satu belum berlalu,
datang lagi musibah berikutnya. (MdBC/Mira
W.1/8-9)
c) Harapan dan
kebahagiaan tokoh utama (Wita) akan segera memiliki anak dari perkawinannya
dengan tokoh Irwan.
“Percayalah pada Tuhan, Wita. Segalanya
mungkin terjadi kalau dikehendaki Tuhan. Masilah kita minta pada-Nya. Tuhan
mengasihi umat-Nya yang sabar dan tawakal.” (MdBC/Mira
W.3/37)
Dan memang, pada tahun perkawinan kami
yang kedua, mukizat pun terjadilah. Aku hamil. Hampir tak dapat kupercaya….
Oh, kalau kau pernah merindukan kehadiran
seorang bayi seperti yang kualami, kau baru tahu kecewanya mendapat haid.
Tapi kali ini tampaknya berbeda. Barangkali
Tuhan sudah mengampuno dosaku dan memberiku kesempatan sekali lagi untuk
menjadi ibu. (MdBC/Mira W.3/38)
Aku hamil! Ya
Tuhan! Aku hamil! Ada seorang bayi lagi dalam rahimku. Persis seperti tiga
tahun yang lalu. Tapi kali ini, bayi yang sangat kudambakan. Buah kasih
sayangku dengan Mas Irwan. Benih laki-laki yang kucintai! Oh, hampir saja
kucium tangan dokter yang memeriksa itu! (MdBC/Mira
W.3/38)
d)
Kebahagiaan Wita (tokoh utama) setelah memiliki bayi perempuan, harus ditebus
dengan kehilangan rahim sehingga kelak tidak mungkin punya anak lagi.
“Aku …tak punya …rahim…lagi, Mas?”
“Kita tidak memerlukannya lagi, Wita. Kita
sudah punya anak.”
Tapi bagaimanapun, aku tetap merasa
kehilangan. Dan aku telah kehilangan milikku yang paling berharga sebagai
perempuan, hanya karena ketololanku di masa remajaku dulu!
(MdBC/Mira W.6/87)
e)
Namun kebahagiaan mereka juga tidak berlangsung lama, sebab anak putri mereka
menderita suatu penyakit yang berbahaya.
Polio. Bagi orang awam macam aku, sama saja artinya dengan kelumpuhan…
Kenapa Tuhan, kenapa kini harus anakku sendiri?
Anakku hanya seorang. Satu-satunya, mengapa mesti anakku? Mangapa bukan
orang lain, yang punya anak selusin… ah, aku tak boleh punya pikiran seperti
itu! Aku tak berhak mencampuri kodrat yang telah digariskan Tuhan. (MdBC/Mira W.1/5-6)
Jadi habislah sudah. Nike kena polio. Dan
dia harus masuk rumah sakit. O, alangkah
tipisnya batas antara kebahagiaan dan penderitaan! (MdBC/Mira W.1/6)
Mula-mula aku cuma bisa menangis. Menjerit. Memohon kepada Tuhan. Kalau
Tuhan punya meja tulis, pasti hanya surat-surat permohonankulah yang
bertumpuk-tumpuk di meja-Nya hari-hari belakangan ini….(MdBC/Mira W.8/105)
f) Tokoh utama (Wita) selalu bersikap tegar
dan tabah meskipun amat sangat mengharapkan kehadiran suaminya disaat-saat
kritis sakit yang diderita Nike anak mereka. Hasil kajian tekstual mengutip
berikut ini.
Ah, seandainya ada Mas Irwan! Dia pasti
lebih tahu. Dia pasti lebih pandai dari dokter ini.
Mas Irwan! Tidak sengaja air mataku
menitik. Perempuan memang selalu merasa lebih aman bila didampingi suaminya.
Apalagi pada saat-saat seperti ini. saat anaknya sakit. Tetapi Mas Irwan tidak
mungkin kemari. Tidak dapat! (sebab
ditahan di kepolisisn atas tuduhan pengguguran kandungan) (MdBC/Mira W.1/6)
g) Indikator bahwa tokoh utama (Wita) sebagai
ibu yang tabah menghadapi cobaan Tuhan dibuktikan lewat paparan komentar tokoh
pelengkap.
“Kenapa sebaik ini pada kami, Dokter?” gumamku
terharu.
“Di Jakarta, saya juga punya anak perempuan
sebesar Nike, Bu,” katanya sederhana sekali. “Saya bayangkan bagaimana kalau
dia yang sakit sementara saya sedang bertugas di sini. Istri saya pasti sama
bingungnya dengan Ibu. Tapi dia pasti tidak setabah Ibu. Belum pernah saya
bertemu dengan wanita yang begitu tabah.” (MdBC/Mira W.9/118)
h)
Ketabahan Wita menjelang dan hingga kematian Nike bisa dipaparkan dari temuan
data tekstual berikut ini.
Malam
ini, aku insaf, aku sudah harus mulai mempersiapkan Nike. Dia akan menempuh
perjalanan yang amat jauh. Ke tempat yang tidak mempunyai jalan untuk kembali.
Tapi aku sadar, bagi anak sekecil Nike, Tuhan pasti telah menyiapkan tempat
yang sangat nyaman. (MdBC/Mira W.9/120)
Ah,
betapa cepatnya waktu berlalu. Betapa singkatnya kesempatan yang diberikan
Tuhan padaku untuk menjadi ibu. Betapa sempitnya kesempatanku untuk menimang
dan memanjakan Nike.
Terasa baru kemarin aku melahirkannya.
Sekarang dia telah kembali. Hanya selintasan dia bersama kami. Tapi selintasan
yang membawa kebahagiaan. Membawa kehangatan dalam rumah tanggaku bersama Mas
Irwan. (MdBC/Mira W.9/124)
Selama itu, hidup kami benar-benar seperti matahari di
batas cakrawala. Hampir terbenam sama sekali. Tetapi sesudah melewati
penderitaan yang paling pahit, seperti kehilangan Nike, penderitaan-penderitaan
yang lain dapat kami lalui dengan tabah, betapapun beratnya.
i)
Sebagai ending cerita yang dibuat berakhir bahagia,
atas usul Irwan, mereka akhirnya mengadopsi anak perempuan kecil yang diberi
nama Nita.
…Dengan
Nita di tengah-tengah kami, kami tak pernah merasa kesepian lagi. Kami berjuang
menghadapi hari esok yang lebih cerah.
Sesungguhnya, matahari hidup kami memang
masih di batas cakrawala. Tapi bukan matahari yang hampir tenggelam. Melainkan
fajar yang hampir menyingsing. (MdBC/Mira
W.9/127)
4.6
Nilai Didaktis Novel “Matahari Di Batas Cakrawala” karya Mira W.
Sebagaimana yang dikemukakan pada bab
sebelumnya, maka nilai didaktis yang dimaksudkan di sini adalah nilai-nilai
positif yang bersifat mendidik sehingga patut diteladani, mencakup nilai-nilai
dari aspek religi (agama), moral, sosial, pendidikan, dan sejenisnya.
Nilai-nilai didaktis ini berupa kesimpulan yang dideskripsikan setelah memahami
apa yang tersirat dari yang tersurat dalam tekstual novel sebagai suatu tema
amanat dan pesan pengarang.
4.6.1 Nilai Religius
(Agamis)
Nilai
pendidikan yang bersifat religi sehingga pembaca bisa memetik hikmah dari
fenomena, perilaku, sikap pandangan dan watak dari tokoh utama termasuk
hubungannya dengan tokoh-tokoh lainnya dalam novel Matahari di Batas Cakrawala karya Mira W. bisa dipaparkan sebagai
hasil kesimpulan kajian tekstual berikut ini.
a)
Kecerobohan pergaulan bebas di masa remaja,
membuahkan penyesalan yang tiada berguna. Perbuatan zina, semua agama mana pun
melarangnya. Bunuh diri demi takut menanggung malu keluarga, adalah perbuatan
dosa, namun apabila ajal belum juga menjelma, pertolongan walau berbuntut
celaka akan datang jua. Ketololan ini disadari oleh tokoh utama (Wita) yang
tidak bisa menjaga mahkota paling berharga seorang wanita, sehingga dia rela
menerima semua cobaan di belakangnya sebagai hukuman atas masa lalunya.
b)
Berangkat dari suatu tema tentang
abortus-pengguguran kandungan, agama tidak sepenuhnya melarangnya. Apabila
menurut pertimbangan medis keberadaan janin lebih membahayakan ibunya oleh
faktor kondisi rahim misalnya, maka abortus bukanlah dosa. namun di luar alasan
tersebut abortus tetap suatu dosa besar.
c)
Manusia hanyalah hamba, hanya mampu berdoa dan
meminta. Pemberian Tuhan, tidak seorang pun bisa menolaknya, sebaliknya apabila
Tuhan mengambilnya dari sisi manusia, tak seorang pun bisa mengelaknya.
4.6.2 Nilai Moral-Sosial
Kandungan nilai-nilai moral-sosial yang tercermin dalam novel “Matahari Di Batas Cakrawala” karya Mira
W. dapat dideskripsikan pada paparan berikut ini.
a)
Betapapun pahitnya kehidupan yang harus dijalani
oleh Wita bersama Irwan, dokter Inpres yang ditugaskan di daerah terpencil,
daerah yang belum ada listrik, dengan penghasilan yang kecil, Wita tetap merasa
tabah. Irwan sudah menjadi pilihan pasangan hidupnya demikian juga Irwan
terhadap Wita. Kebersamaan ini mengajarkan manusia senantiasa tegar dalam
menghadapi setiap gelombang cobaan kehidupan.
b)
Semakin tegar menghadapi berbagai cobaan yang
datangnya silih berganti, suami ditahan atas tuduhan menggugurkan kandungan,
anak satu-satunya sakit kanker darah yang ganas hingga merenggut nyawanya tanpa
ditunggui papanya saat kematiannya, bagi Wita dirasakan semakin
menenggelamkannya ke dalam lumpur penderitaan. Namun semakin tenggelam, mutiara
di hatinya semakin bercahaya.
c)
Melalui tokoh Irwan, tokoh Wita akhirnya menemukan
nilai moral-sosial tentang arti suatu pengabdian kepada sesama. Hal ini
tercermin pada sosok dokter Irwan yang tetap bersikeras tidak minta ditarik ke
pusat meskipun masa ikatan dinasnya telah selesai. Dokter Irwan terlanjur
merasa kasihan dan ikut merasakan penderitaan mereka para pasien yang amat
membutuhkan pertolongannya. Wita akhirnya dapat merasakan arti diri Irwan bagi
mereka.
d)
Dalam setiap penderitaan seseorang, pasti ada orang
lain yang bermurah hati, ringan tangan, dan bersedia dengan suka rela membantu
kesulitan saudaranya sesama manusia. Lewat donor darah maupun tenaga.
BAB V P E
N U T U P
5.1 Kesimpulan
Setelah melalui penganalisaan secara tekstual terhadap novel “Matahari Di Batas Cakrawala” karya Mira W., dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berikut ini.
a) Novel ini mengamanatkan suatu tema tentang pengguguran kandungan yang gegabah sehingga berdampak terhadap kondisi rahim wanita. Bermula dari tema inilah yang dikembangkan membentuk strutur cerita yang mengisahkan ketabahan seorang istri dokter Inpres yang bertugas di daerah terpencil. Ketabahan atas hukuman kecerobohan masa remajanya, sehingga berakibat beruntunnya berbagai cobaan yang datang silih berganti. Kebahagiaan sebagai karunia Tuhan yang pernah sekejap dinikmati bersama, segera tercerabut dari sisi mereka.
b) Mengambil latar medis dalam khasanah istilah kedokteran, pengarang seakan menekankan bahwa abortus-penguguran janin dalam kandungan secara medis tetap suatu perbuatan melanggar kode etik kedokteran, apalagi ajaran agama juga melarangnya kecuali oleh alasan pertimbangan medis demi menyelamatkan jiwa ibunya.
c) Ide dasar sebagai pokok-pokok pikiran yang menjadi amanat pesan pengarang yang mengandung nilai didaktis adalah (1) pergaulan bebas di masa remaja akan berbuntut celaka di kemudian hari; (2) perbuatan ceroboh melakukan upaya bunuh diri tetap merupakan sesuatu yang dilarang agama, juga bukan solusi yang bijaksana; (3) ketabahan seseorang yang semakin tenggelam di dalam lumpur penderitaan, semakin cemerlang pula mutiara di hatinya; (4) apabila bisa memberi manfaat kepada sesama, betapa berartinya kehadiran kita ke dunia.
5.2 Saran
Sehubungan dengan hasil penelitian ini, sejumlah saran penulis kemukakan sebagai berikut :
1) Kepada Sekolah
Agar senantiasa menambah khasanah bahan bacaan sastra melalui perpustakaan sekolah untuk merangsang peningkatan kegemaran membaca karya sastra, baik bagi siswa maupun guru yang bermuara akhir dengan terciptanya iklim apresiatif yang produktif.
2) Kepada Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Agar pembinaan keterampilan mengapresiasi karya sastra khususnya cerpen, semakin ditingkatkan dan menjadi skala prioritas.
3) Kepada Siswa
Hendaknya semakin menggemari bacaan karya sastra termasuk novel, karena upaya memperluas wawasan dan kematangan hidup bisa ditempuh melalui kegemaran membaca dan mengapresiasi karya bernilai sastra.
4) Kepada Peneliti Selanjutnya
Agar hasil penelitian ini bisa menjadi acuan penelitian lebih lanjut serta dengan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan terhadap unsur-unsur pendekatan yang lainnya.
dilakukan peluasaan telaah dan atau penelitian dari sudut dan tentang aspek yang lain;
diharapkan akhirnya terwujud telaah utuh yang sudah barang tentu sangat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi pihak-pihak yan memerlukannya.
PUSTAKA RUJUKAN
Aminuddin. 2004. Pengantar
Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
----------------1990. Sekitar
Masalah Sastra. Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang: Yayasan
Asah Asih Asuh malang.
Badudu-Zain. 1996. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan
Terintegrasi. Bahasa dan Sastra
Indonesia.Pengembangan Kemampuan Menulis Sastra. Buku 3a. Jakarta:
Direktorat PLP Dirjendikdasmen Depdiknas.
Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan
Terintegrasi. Bahasa dan Sastra
Indonesia.Pengembangan Kemampuan Menyimak Sastra. Buku 3e. Jakarta: Direktorat PLP
Dirjendikdasmen Depdiknas.
IKIP Malang. 1996. Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan
Penelitian. Malang: Satgas OPP Bagian Proyek OPF. IKIP Malang.
Kaswardi, EM.K.1993. Pendidikan
Nilai memasuki Tahun 2000. Jakarta: Grasindo.
Katmiatun. 2002. Kajian Tekstual
Novel Kabut Tergantung Beku (Cobaan Tuhan) karya Muhammad Ali Berdasarkan
Pendekatan Didaktis. Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPISH IKIP
Budi Utomo Malang. Malang: IKIP Budi Utomo Malang.
Keraf, Gorys. 2001. Komposisi:
Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa.
Flores: Nusa Indah.
Mira W. 2004. Matahari di Batas
Cakrawala. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Salamah, Umi. 2001. Diktat
Sejarah dan Teori Sastra. Sebagai Panduan Perkuliahan Matakuliah Sejarah
& Teori Sastra di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS
IKIP Budi Utomo Malang. Malang: IKIP Budi Utomo.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode
Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tarigan, Henry Guntur. 1985.
Prinsip-Prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar