Analisis Karya Sastra : Roman
Ulasan
Karya Sastra
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
karya
HAMKA
Ulasan : SUGENG
RIANTO
Karya sastra bukanlah sekadar buah keringat
fiksional yang mampu menyulap fakta menjadi karya fiksi, akan tetapi bisa
merupakan potret kesaksian atas rentetan peristiwa yang melatar belakangi
zamannya. Sebuah karya sastra mampu merekam situasi kondisi sosial pada
zamannya, kemudian mencoba memaknai bagi kehidupan dari segala sisinya sebagai
isyarat yang bisa jadi masih relevan untuk menjadi kajian sekian kurun
mendatang. Dalam hal ini, sastra sering diperlakukan sebagai refleksi dan
ramalan perkembangan dan tanda-tanda yang masih bakal terjadi di masa
mendatang. Sedangkan prediksi ke depan tepat atau tidak, sastrawan menganggap tidaklah penting. Ia hanya
bertugas mengisyaratkan tentang fenomena realitas yang bisa dirangkum lewat
gubahan wacana tulis, sebagaimana tugas kenabian yang mutlak hanya pengemban
amanat Ilahiat.
Dalam usia 31 tahun,
di mana darah muda mengalir bergelora dan daya khayal serta rasa sentimennya
masih tinggi, HAMKA telah berhasil merampungkan karya sastra roman berjudul
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang diselesaikannya tahun 1938. Juga masih
menyoal kukuh kokohnya belenggu adat yang memporak-porandakan hubungan
percintaan kasih dua muda-mudi, yang cinta sucinya terbawa sampai mati. Penuh
nasehat dan pesan moral sebagaimana alam kehidupan sastra saat itu, namun sarat
dengan muatan idealisme yang secara simbolik bisa dimaknai dengan banyak
penafsiran, termasuk pilihan judul.
Sebagai karya yang menorehkan tinta emas
sejarah perkembangan sastra Indonesia, pada era Angkatan Pujangga Baru, dan
merupakan karya roman maestro keduanya setelah sebelumnya Di Bawah Lindungan
Ka’bah, maka Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai karya fiksi yang amat
menarik untuk dinikmati. Bahasanya menyentuh, setiap pembaca yang peka pasti
berlinang air mata haru mengikuti jalinan alur cerita yang runtut, tidak
berbelit-belit serta mudah dipahami. Dilatarbelakangi dengan peraturan adat
yang masih dipegang teguh, dalam suatu negeri yang bersuku berlembaga, berkait
kerabat dan berninik mamak, dan
menganggap bahwa adat Minangkabau adalah warisan pusaka leluhur yang
paling tinggi dibandingkan negeri lain seperti Mengkasar.
Gubahan ceritanya sangat menarik dan
mengungkapkan tema yang senantiasa relevan dikaji setiap jaman. Dijalin dengan
gubahan bahasa sastra yang indah penuh nasehat, falsafah adat dan pesan moral
agama Islam yang menjadi landasan budaya Minangkabau. Walaupun iklim kehidupan
golongan beragama masih menganggap bahwa mengarang roman menyalahi kebiasaan
umum yang lazim pada waktu itu. Kenyataan
pada awalnya selama 10 tahun setelah roman ini diterbitkan, pengarangnya
menghadapi banyak tantangan keras. Namun juga tidak sedikit dari kalangan yang
bersimpati terhadap kesenian dan perlunya keindahan dalam hidup manusia, mereka
sampai mengatakan seakan-akan si pengarang menceritakan nasibku sendiri. Bahkan
ada pula yang berkata, barangkali riwayat si pengarang sendiri yang diceriterakan.
ULASAN
KARYA SASTRA : ROMAN
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
KARYA : HAMKA (Haji Abdul
Malik Karim Amarullah)
Pengantar :
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah salah satu karya sastra roman
dari sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang diterbitkan pertama kali pada tahu
1939 oleh Penerbit Bulan Bintang.
Tema Cerita : Mengungkapkan masalah
adat yang berlaku di Minangkabau, masalah kegigihan dan masalah harta dunia
yang menghalangi hubungan cinta kasih sepasang muda-mudi serta keuletan si pemuda
perantauan yang demi memegang teguh prisnsip sehingga mengantarkannya menjadi
orang yang sukses dalam karir tapi tragis dalam percintaan.
Setting Cerita : Daerah Minangkabau, Padang Panjang, Mengkasar, Jakarta, dan
Surabaya.
Penokohan dan Karakternya :
1. Zainuddin; seorang pemuda berbudi
luhur yang dilahirkan dari pasangan Melayu Padang dengan Mengkasar, memiliki
sifat yang teguh dan istiqomah dalam memegang prinsip hidup. Sebagai tokoh
sentral dan tokoh utama dalam roman ini.
2. Hayati; seorang gadis lugu yang
berbudi luhur, taat terhadap aturan adat yang mengekangnya sehingga mengorbankan nasib cintanya. Sebagai
tokoh utama yang menjadi kekasih Zainuddin secara batiniah tetapi menikah
dengan Aziz.
3. Khadijah; sahabat karib Hayati. Ia
adalah adik kandung Aziz. Memiliki gaya hidup modern serta ikut berperan
memisahkan percintaan Hayati dengan Zainuddin.
4. Azis; seorang pemuda yang
memiliki latar belakang perilaku yang
buruk, suka bergaya hidup mewah. Ia menjadi suami Hayati. Sebagai tokoh
pembantu antagonis.
5. Muluk; mantan “Parewa”/berandalan
yang bertobat dan menjadi sahabat kental Zainuddin yang memiliki rasa
kesetiakawanan yang tinggi.
6. Mak Base; seorang saudagar kaya yang
baik hati di Mengkasar, yang menjadi orang tua angkat Zainuddin. Seorang yang
memiliki sifat bisa menjaga amanah. Sebagi tokoh pembantu protagonis.
7. Pendekar Sutan; seorang saudagar kaya yang
dihormati di Batipuh, dan sebagai ayah kandung Zainuddin. Perjalanan nasib
mengantarkannya menjalani kehidupan sebagai orang buangan hingga meninggalnya.
Sebagai tokoh pembantu protagonis.
8. Daeng Habibah; seorang wanita berasal
dari Mengkasar dan sebagai ibu kandung Zainuddin. Sebagai tokoh pembantu dalam
peran tritagonis.
9. Datuk Mentari Labih; mamaknya Pendekar Sutan
yang sangat serakah. Sebagai tokoh pembantu dalam peran antagonis.
10. Engku Dt. ………….; mamaknya Hayati yang pongah
dan kolot memegang tradisi Mingkabau, sehingga memisahkan hubungan cinta kasih
dua sejoli Zainuddin dengan Hayati. Sebagai tokoh pembantu dengan peran
antagonis.
Ringkasan Cerita :
Zainuddin berhasil kembali ke kampung halaman almarhum ayahandanya,
yakni Pendekar Sutan, setelah mendapat izin dari Mak Base, orang tua angkatnya.
Zainuddin terlahir dan tinggal di Mengkasar setelah ayah kandungnya terusir
dari Batipuh, Padang Panjang, Minangkabau, karena membunuh Datuk Mantari Labih,
sehingga harus menjalani hukuman buang selama 15 tahun di Mengkasar. Usai masa hukumannya, Pendekar
Sutan beristri Daeng Habibah yang asli Mengkasar, kemidian lahirlah putra
tunggalnya yakni Zainuddin. Setelah ayahnya meninggal dunia, disusul kemudian
ibunya, zainuddin diangkat anak oleh Mak Base yang baik hati itu.
Ketidakadilan yang menimpa ayahnya akibat adat istiadat yang
membelenggu di daerahnya juga dirasakan oleh pemuda itu. Zainuddin yang bukan
orang Padang asli –karena ibunya bukan kelahiran Batipuh- harus mendapatkan
tantangan besar dalam menjalin hubungan cintanya dengan Hayati, gadis desa yang
lugu dan polos. Selain itu, juga karena Zainuddin adalah anak yatim piatu.
Namun demikian, hubungan cinta kasih keduanya tetap berjalan secara
sembunyi-sembunyi dengan cara berkirim surat.
Suatu hari, setelah hubungan mereka dipisahkan jarak oleh Datuk …,
mamak angkatnya atau orang tua angkat Hayati karena ia sejak kecil yatim piatu,
sehingga Zainuddin harus pindah ke Padang Panjang, Hayati bermaksud pergi ke
Padang Panjang untuk melihat pacuan kuda dan menginap di rumah sahabat
kentalnya, Khadijah. Sebelum berangkat, ia telah mengabarkan kepada Zainuddin,
sehingga kedua anak muda itu bisa bertemu dan melepaskan rasa rindu di rumah
Khadijah. Namun, pertemuan Hayati dan Zainuddin mendapatkan halangan dari Azis,
kakaknya Khadijah yang secara diam-diam jatuh hati kepada hayati.
Puncak persaingan antara Zainuddin dan Azis terjadi ketika kedua pemuda
itu sama-sama mengirimkan surat lamaran kepada orang tua Hayati. Dari lamaran
kedua pemuda itu, ternyata pinangan Azis yang diterima karena orang tua Hayati mengetahui ia adalah putra Padang asli
dan memiliki latar belakang keluarga
yang kaya. Sedangkan Zainuddin ditolak karena mamaknya Hayati tidak
ingin anaknya bersuamikan bukan orang padang asli, lagi pula perantauan yang
miskin. Mereka tidak mengetahui bahwa Zainuddin baru saja menerima warisan
kekayaan dari Mak Base yang telah meninggal dunia.
Penolakan lamaran mengakibatkan Zainuddin jatuh sakit teramat parah,
sedangkan Hayati harus menjalani hidup dengan lelaki yang tidak dicintainya
sehingga ia merasa tertekan jiwanya. Apalagi Azis memiliki perangai yang buruk
sehingga kehidupan rumah tangga wanita itu tidak bahagia.
Bukti cinta Zainuddin terhadap hayati masih kukuh, adalah di saat
puncak sakitnya, oleh sahabat karib Zainuddin, Muluk yang mengatur pertemuan
sehingga Hayati bisa menjenguk Zainuddin. Setidaknya, di akhir usia Zainuddin,
Muluk bisa mengobati walau hanya sebatas penawar penderitaan batin sahabatnya.
Setelah berangsur-angsur sembuh, dan mengikuti saran Muluk agar
melupakan Hayati serta agar mencurahkan perhatiannya untuk memupuk bakat
kepengarangannya, Zainuddin pun pindah ke Jakarta disertai sahabat setianya,
Muluk. Di Ibukota, ia berhasil menjadi penulis yang produktif sehingga namanya
mulai dikenal banyak orang. Kemudian, ia pindah ke kota pahlawan, Surabaya dan
tetap menulis bahkan memimpin usaha penerbitan yang semakin menjulang. Ia
bahkan dikenal sebagai penulis yang kaya dan dermawan. Sementara itu, Azis juga
dipindahkan ke Surabaya oleh atasannya atas kemerosotan pekerjaanya, disertai
Hayati. Sehingga kepindahan ini mempertemukan Hayati dengan Zainuddin,
kekasihnya yang masih amat mencintainya.
Ketika Azis dipecat dari pekerjaannya karena kecerobohan dan kelalaian
dalam menjalankan roda perusahaan, ia bersama Hayati terpaksa tinggal di rumah
Zainuddin. Namun, Azis justru merasa hina tinggal di rumah Zainuddin karena
perlakuan pemuda sukses itu teramat sangat baik terhadap keluarganya Azis lalu
memutuskan untuk meninggalkan Hayati di rumah Zainuddin dan pergi mencoba usaha
pekerjaan di Banyuwangi.
Namun tak berapa lama kemudian, Azis mengirimkan dua pusuk surat,
pertama kepada Hayati, istrinya yang
isinya hendak menceraikannya serta merelakan bila Hayati diperistri Zainuddin
demi membalas hutang budi, dan surat kedua ditujukan kepada Zainuddin yang
berisi permintaan agar Zainuddin bersedia menikahi Hayati. Ternyata, surat itu
merupakan pesan terakhirnya karena tak lama kemudian Azis diberitakan mati
bunuh diri di dalam kamar penginapan di Malang.
Sekalipun dalam hati masih mencintai Hayati, Zainuddin menolak
permintaan wasiat Azis karena perasaan dendam dan kekecewaannya terhadap orang
tua Hayati yang dulu telah menolak lamarannya. Ia bahkan menyuruh Hayati untuk
pulang ke kampung halamannya di Padang dan mengongkosi seluruh beaya
perjalanan. Hal itu membuat hati Hayati merasa hancur, walau sebenarnya
Zainuddin sendiri merasa tidak tega bahkan juga sedang menghadapi pertarungan
batin antara cinta suci terpendamnya
melawan kekecewaannya terhadap keluarga Hayati. Akhirnya, keesokan harinya,
Hayati dengan sayu menuju pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dengan diantar oleh
Zainuddin yang melepasnya di dalam kapal Van Der Wijck yang akan membawanya ke
Sumatera.
Tak lama setelah melepas kepergian Hayati, hati Zainuddin merasa gundah
gulana karena bagaimanapun dorongan perasaan cintanya kepada Hayati lebih kuat
daripada kekecewaannya. Ia segera bergegas menyusul Hayati di pelabuhan, namun
kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati telah berangkat. Lelaki itu merasa
sedih dan sangat menyesali tindakannya.
Zainuddin semakin sedih lagi
ketika mendapat siaran warta berita
bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam di perairan dekat Lamongan, sesaat setelah
lepas jangkar dari Surabaya. Banyak korban tewas dan luka berat, yang ditampung
di rumah-rumah penduduk dan sebagian dilarikan ke rumah sakit Lamongan. Bersama Muluk,
sahabatnya yang setia menemaninya, ia langsung meluncur ke Lamongan, berlomba
dengan waktu ingin segera mengetahui kondisi Hayati. Sesampainya di rumah
sakit, ia mendapatkan Hayati tengah mendapat perawatan medis dan berbaring tak
berdaya. Ia pun memeluk Hayati dan menyatakan penyesalannya. Rupanya pertemuan
dua insan ini adalah pertemuan yang terakhir karena Hayati tak lama kemudian
menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan Zainuddin.
Tak jua dayung dikayuh, maka tak satupun jua pulau terlampaui. Kejadian
ini membuat Zainuddin merasa terpukul batinnya, dan merasakan penyesalan yang
berkepanjangan hingga jatuh sakit yang mengantarkan kepergiannya meninggalkan
alam fana ini. Ia dimakamkan bersebalahan dengan pusara Hayati di Surabaya.
Ulasan Makna Pesan Pengarang
:
Dengan gaya bahasa yang menggelitik nurani, penuh
sentuhan gubahan untaian kata, dengan larik kalimat kaya makna, Hamka lewat Zainuddin seakan mencoba
mendobrak kekolotan adat istiadat Minangkabau,
yang masih kukuh memegang tradisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar